Dua orang lelaki berpakaian putih mendatangi lokasi perkemahan diikuti beberapa warga yang menyusul berdatangan. Para lelaki berpakaian putih itu mendatangi peserta yang kerasukan satu per satu dengan mencipratkan air dari botol plastik ke seluruh tubuh mereka. Tidak lama kemudian mereka diam. Perkemahan kembali hening.
Dengan instruksi lelaki berbaju putih, semua peserta harus turun meninggalkan lokasi secara senyap dengan senantiasa melafalkan doa-doa sepanjang perjalanan.
Dibantu oleh warga akhirnya seluruh peserta perkemahan turun dari bukit lokasi perkemahan. Dengan susah payah dan alat tandu seadanya proses evakuasi pun berjalan sangat dramatis. Terlebih gerimis turun tiada henti.
Kini peserta sudah dievakuasi berkumpul di sebuah surau perkampungan dengan kondisi kesehatan yang beragam. Terlihat beberapa ibu-ibu menggunakan kain mukena ikut mengaji dan membacakan zikir tiada henti agar semua korban kerasukan lebih tenang.
**
“Rin Gimana teman-teman udah pada sadar?” tanyanya kepada Arin. tanpa menghiraukan Kenzo yang sedang mengoceh. Lelaki bertubuh tinggi itu mengalihkan matanya ke arah Arin ketika Axel mengajukan pertanyaan itu.
Beberapa sudah sadar dibantu pak ustad tapi puluhan yang lain belum sadarkan diri.
Axel beranjak dari duduknya.
“Mau ke mana?” tanya Kenzo.
“Saya ketua pelaksana kegiatan ini, Pak. Saya merasa harus bertanggung jawab. Saya ingin melihat teman-teman di sana.
“Sebaiknya kamu istirahat dulu di sini beberapa petugas sudah menangani korban,” ucap Kenzo.
“Lain kali kamu harus nurut kepada ucapan saya,” katanya lagi dengan nada suara yang jauh lebih lembut.
“Pak, bisa tidak berhenti menyalahkan saya?” tiba-tiba suara Axel meninggi. Matanya berwarna merah penuh amarah. Saya juga berusaha bertanggung jawab!” teriak Axel memcah sunyi. Suaranya bergema bersaing dengan gemerisik hujan yang terdengar deras di luar surau.
“Axel, tenang!” pinta Kenzo dengan suara yang lebih lembut. Menjadi guru muda tidaklah mudah meredakan ego untuk melawan anak remaja yang usianya tidak sampai terpaut belasan tahun.
“Sejak awal ketika kamu meminta izin untuk menjadikan tempat ini sebagai tempat kamping, saya sama sekali tidak mengizinkan. Karena saya peduli kepada kalian, syaa hanya ingin memberi tahu bahwa anak muda memang memiliki mental dan keberainan yang mungkin lebih hebat daripada kami orang dewasa. Akan tetapi percayalah, kami yang sudah lebih dewasa sudah banyak memakan asam garam dan pengalaman. Hal inilah yang menjadikan saya harus memberikan larangan kepada kalian. Sekarang lihatlah akibatnya dari apa yang telah kamu putuskan. Teman-temanmu jadi korban bukan?” ucap Kenzo Wijaya panjang lebar. Axel mulai tenang, ia ahkhirnya paham apa yang dimaksudkan gurunya itu.
“Saya mohon maaf, Pak. Namun ketahuilah, bahwa ini semua bukan murni kesalahan saya dan kami sebagai panitia penyelenggara. Ada yang jauh lebih bertanggung jawab atas semua ini, Pak,” ucap Axel dengan suara yang nyaris tercekat. “Danang lah yang meminta saya untuk membuat rute itu,” katanya lagi.
“Danang?” tanya Kenzo keheranan.
“Dia pula yang memaksa saya mengambil lokasi ini. Dia pula yang menyarankan saya untuk tidak mengabari bapak dan langsung berangkat. Dia juga yang meminta saya memalsukan surat dan proposal sehingga lokasi di proposal dan lokasi kegiatan sekarang berbeda,” ungkap Axel.
“Astagfirullah, maksudnya Bang Danang ketua umum beberapa angkatan di atas kita yang terkenal sadis itu?” tanya Arin yang sejak tadi hanya menyimak percakapan.
“Iya, dia yang sengaja mengintimidasiku dan mengatakan bahwa aku bukanlah apa-apa dibandingkan keberhasilannya memimpin perkemahan beberapa tahun lalu,” jawab Axel.
“Axel, kamu tidak tahu kalau bang Danang sudah meninggal?” tanya Arin.
“Apa? Jangan ngarang deh kamu Arin! Jelas-jelas dia selalu menemuiku setiap malam ketika kita selesai rapat persiapan,” jawab Axel bersikeras. Kepalanya lalu memutar setiap pertemuan dan percakapan yang terjadi di antara dirinya dan Danang. Tidak terkecuali malam tadi ketika Danang meninggalkannya sendirian di tengah hutan.
“Axel, perkemahan delapan tahun lalu adalah perkemahan terakhir baginya. Ketika kalian belum masuk SMA, Danang mengalami kecelakaan saat survey rute jurit malam. Kakinya terperosok ke dalam jurang sempit yang dalam. Semasa hidup Danang memang sangat senang mengerjai juniornya dengan alasan melatih mental dan keberanian. Nyatanya dia pun terperosok karena lari pontang-panting akibat melihat sosok yang menakutkan.
Bapak sendiri mendengar cerita mengerikan itu dari teman satu angkatannya yang juga memutuskan untuk tidak pernah berkemah lagi. Angkatan mereka lalu menutup rangkaian kegiatan perkemahan. Hingga vakum beberapa tahun. Baru ketika ketuanya kamu, Axel. Perkemahan semacam ini ada lagi. Ya, saya pun sangat menyesali kegiatan itu,” ucap Kenzo dengan rasa penyesalan yang begitu dalam.
Kejadian beberapa tahun lalu sangat membuatnya terpukul. Ia pun nyaris dipecat dari jabatannya sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan. Beruntung kesaksian siswa yang kuat menolong dan menyelamatkannya.
“Jadi, alasan itu juga yang membuat Bapak begitu melarang kami berkemah?” tanya Axel.
Kenzo mengangguk pilu. Axel menyatakan penyesalannya kepada gurunya itu. Hujan sudah berhenti. Fajar menyingsing di ufuk timur. Azan subuh berkumandang. Mereka perlahan beranjak dari tempat duduk masing-masing tanpa sempat memejamkan mata dan beristirahat. Langkah kakinya gontai menuju tempat wudhu.
Axel tersenyum lega melihat para peserta dan rekan-rekannya yang kerasukan sudah sehat seperti semula. Beberapa di antara mereka berpapasan ketika akan mengambil air wudhu.
Sementara di kepalanya masih menggantung pertanyaan besar, siapa sosok Danang yang kerap ditemui Axel? Sebab ia akhirnya baru tahu wajah asli Danang yang ditunjukkan oleh gurunya dari media sekolah. Paras rupa Danang sangat jauh berbeda dengan Danang yang selalu menemui dan meninggalkannya di tengah hutan tadi malam.
***
TAMAT
Sudah tayang secara utuh di kompasiana.com
+ There are no comments
Add yours