Hallo, Pembaca! Pernahkah melihat fenomena pamer emas di hari lebaran?
Bukan hanya unik, bentuk tradisi yang tidak tersurat tetapi tersirat ini memang muncul di beberapa daerah tidak terkecuali di salah satu daerah di kampung halaman saya.
Memang tidak ada yang bilang harus begitu. Karena tradisi ini tidak seperti kebiasaan bahwa lebaran itu harus ada ketupat dan opor ayam. Namun tetap saja ini terjadi begitu saja. Seolah sudah menjadi keharusan, ketika kumpul keluarga, sanak famili, perhiasan yang selama ini disimpan mendadak dipakai kembali. Yang tidak punya, menyengaja membeli untuk dipakai di hari raya Idul Fitri.
Rata-rata, ketika lebaran yang dipakai di leher, tangan bahkan kaki itu besar-besar. Saat berada di tempat yang terang, terlihat jelas kerlap-kerlip, blink-blink. Bentuk yang dipilih pun dipilih sedemikian rupa, agar ketika beradu menghasilkan bunyi ‘kerincing’. Cincin, gelang, kalung, sampai gelang kaki dipakai semencolok mungkin, seolah ingin bilang, “nih gua juga punya!”
Ah, lucu memang. Jadi teringat beberapa tahun lalu, ketika ibu mertua berbisik di telinga, “mana gelang pemberian mama, kok gak dipakai?”
Saat itu saya lupa memakai gelang emas yang didapat saat seserahan pernikahan. Ukurannya memang agak besar, tapi tetap cantik di tangan saya. Selera mama memang tinggi. Pandai memilih baju, perhiasan, dan apa saja bisa dipadu padan.
Namun, saking “istimewanya” gelang itu saya simpan baik-baik. Saking terlalu baik menyimpan sampai lupa menyimpannya di mana. Nah lho!
“Deg!”
Terasa dada ini terhenyak saat mama mengatakan itu. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan dan bersalaman, tentunya dengan gelang, cincin dan sebagainya.
Sayangnya saya bukan tipe orang yang biasa berdandan memakai perhiasan emas. Suami pun sering tertawa, ketika melihat istrinya lebih senang memakai gelang tali daripada emas.
Hanya emas putih di jari manis sebagai bukti ikatan pernikahan yang selalu saya pakai. Selain itu, malas rasanya menggunakan perhiasan.
“Maaf, Ma. Lupa gak Teteh bawa di Bandung,” saya menjawab, diiringi dengan tawa cengengesan.
Mama menggeleng, “ya udah, gak apa-apa,” jawabnya dengan wajah datar.
Mama juga bukan tipe penyuka perhiasan yang berlebihan. Tidak suka pamer emas. Hanya saja kebiasaan membuatnya berbuat demikian.
“Menyelesaikan saja dengan yang lain…,” ujar Mama.
Ada gambaran rasa kecewa di wajah mama saat itu. Saya mengutuk diri, kenapa gelang itu tidak dibawa serta ketika mudik.
Terbayang betul di mata ini. Kalung gelang, tersimpan rapi di cepuknya yang berwarna merah maroon. Cantik.
Saat santap makanan pun tiba. Sanak saudara mencicipi hidangan di rumah mama.
Mertua adalah anak terbesar. Jadi kalau kumpul keluarga di hari raya, rumah mama lah yang pertama dikunjungi oleh sanak saudara, setelah rumah kakek dan nenek.
Saya lihat para sepupu perempuan menggunakan perhiasan di tangannya. Tangannya semakin cantik dengan gelang dan cincin di jarinya.
Keluarga mama memang keluarga yang berkelas, bentuk perhiasan pun bagus-bagus, pikirku.
Mereka memang pandai dalam memilih. Jam tangan, serta tas bemerek mahal atau sedang in pada saatnya digunakan pada saat kunjungan keluarga di hari raya.
Sementara yang lain sibuk dengan hidangan dan obrolan santai, saya menyempatkan diri pergi ke kamar untuk melihat tampilan diri saya di depan kaca besar.
Saya melihat sosok saya sendiri yang hanya polosan tanpa dandanan yang mencolok. Hanya pelembab dan lipblam yang dipoles sekenanya. Asal tak terlihat seperti orang sakit. Boro-boro pakai perhiasan dan “pamer emas,” dandan dan bermake-up pun saya enggan.
“Kalau sudah nikah mah harus belajar, untuk menjaga nama baik suami,” ujar mama mertua ketika saya menolak dibelanjakan berbagai alat makeup dan riasan. Bukan tidak mau, hanya saja saya bingung bagaimana mengaplikasikanya.
“Apa benar dengan tampilan yang polosan seorang istri tidak bisa menjaga nama baik suaminya?” saya berbisik pada diri sendiri di depan cermin.
“Gak gitu juga kok. Kamu tetap cantik walau tanpa dandan dan memakai perhiasan.”
Suami tiba-tiba muncul.
“Aih, sejak kapan di sana?”
“Sejak tadi. Yuk ah, gabung lagi. Tidak perlu banyak pikiran. Jadi diri sendiri saja!”
Perkataan suami berhasil membuat tenang. Saya pun tersenyum lega walau tanpa pakai apa-apa.
Hanya perasaan bersalah kepada mama yang masih tersisa di dada.
Menantu yang satunya lagi pakai gelang bagus. Anak perempuannya memakai gelang kaki. Mudah-mudahan mama tidak ikut merasa minder karena menantunya polosan.
Namun sejak kejadian itu, mama tidak pernah lagi menyinggung soal perhiasan. Mama akhirnya paham bahwa saya tidak suka menggunakannya.
Sambil senyum mama bilang, “tidak apa-apa, kalau gak suka make ya yang penting tidak dijual. Itu kan kenang-kenangan dari Mama.”
“Enggak dijual juga lah, Ma. Masa iya!”
Semua tertawa, suasana pun kembali cair membuat lega.
“Maafin ya, Ma….!”
+ There are no comments
Add yours