
ilustrasi gambar; Mufid Majnun
Ramadan #22. Setiap kali Ramadan tiba, desa kami seperti terbangun dari mimpi panjang. Udara malam yang sejuk berbaur dengan getar rindu akan sahur—saat ketika langit masih gelap, tapi hati sudah mulai berbisik tentang puasa. Namun, yang paling kutunggu bukan hanya santap sahur, melainkan dentuman riuh alat musik patrol yang menggema dari sudut-sudut gang. Itulah musik pembangun sahur kami: alunan dari jerigen bekas, potongan besi karatan, dan kentongan bambu yang disatukan menjadi simfoni sederhana. Bagi kami, itu bukan sekadar bunyi-bunyian. Itu adalah nyanyian kebersamaan.
Alat musik patrol di desa kami tercipta dari barang rongsokan yang dianggap sampah oleh orang lain. Maka dari itu, saya menyebutnya orkestra rongsokan. Jerigen cat kosong yang dicat ulang, besi sisa pagar yang dipotong sepanjang lengan, dan kentongan bambu buatan tangan yang dipangkas hingga menghasilkan suara berat nan dalam. Aku masih ingat bagaimana aku memohon pada Ayah untuk membuatkanku kentongan itu. “Bambunya harus dari yang tua, Nak, biar suaranya tak pecah,” katanya sembari memahat dengan sabar. Hasilnya? Sebuah kentongan yang permukaannya kasar, tapi bunyinya mengalun seperti suara hati yang tenang. Kami menyimpan alat-alat itu di rumah masing-masing, merawatnya seperti pusaka. Jerigen Kusni tersandar di gudang, besi Pak De Karim digantung di teras, sementara kentonganku selalu kusimpan di bawah ranjang—siap menyambut panggilan malam.
Pukul dua pagi, ketika desa masih diselimuti kabut dan bintang-bintang berkelip samar, kami sudah berkumpul di ujung jalan. Tanpa komando, tangan-tangan kecil dan besar mulai memukul, menggesek, dan mengocok alat-alat itu. Jerigen berdebar seperti gendang, besi berdering layaknya simbal, dan kentongan mengatur irama bak konduktor. Kami berjalan berkeliling, dari rumah ke rumah, membangunkan siapa pun yang masih terlelap. Bunyinya mungkin tak selaras seperti orkestra profesional, tapi di telinga kami, itu adalah melodi paling indah. Kadang, seorang ibu membuka jendela, tersenyum sambil melemparkan permen atau kue kering. “Mainkan lagi yang rancak, Nak!” serunya. Kami pun tertawa, lalu semakin bersemangat memukul jerigen hingga suaranya menggema ke langit.
Ramadan tanpa patrol terasa hampa. Aku pernah absen sekali karena demam. Dari balik jendela, kudengar suara teman-teman lewat dengan riang. Jerigen mereka berdentum, kentongan berdetak, dan tawa mereka seperti menggoda rasa kesepianku. Esoknya, Kusni—si pemilik jerigen paling besar—mengetuk pintu. “Kamu ketinggalan kemarin. Ini, simpan permen dari Bu RT buatmu,” katanya. Aku tersadar: patrol bukan sekadar soal musik bahkan orkestra rongsokan. Ini tentang tetap terhubung, tentang merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Kini, setiap Ramadan tiba, kenangan itu selalu kembali. Tentang Ayah yang dengan teliti mengukir bambu, tentang jerigen Kusni yang penyok tapi tetap berbunyi gagah, tentang desa yang bangkit di tengah malam untuk menyambut hari baru. Alat-alat itu mungkin hanya rongsokan, tapi di tangan kami, mereka menjelma menjadi mantra yang mengubah sahur jadi momen magis. Di balik bunyinya yang sederhana, tersimpan cerita tentang gotong royong, kreativitas, dan kehangatan yang hanya ada di bulan puasa. Patrol tak hanya membangunkan sahur—ia membangunkan rasa syukur bahwa di tengah keterbatasan, kami selalu punya cara untuk merayakan kebersamaan.
Dan di setiap dentuman jerigen bekas itu, aku masih mendengar gema tawa masa kecilku: murni, lengang, namun penuh makna.