“Un, mau lihat nilai ujian Atha gak?” tanya anakku di sela-sela aktivitasnya mengisi air ke alat untuk menyiram tanaman di wastafel cuci piring.
Sejak kami pindah rumah dan saya memiliki hobi baru “jadi tukang bunga”. Menyiram tanaman merupakan salah satu tugas tetap harian Atha selain membereskan kamar dan tempat tidur sendiri, menutup jendela dan gorden, membuang sampah, dan menyalakan lampu ketika petang datang setiap hari.
“Memangnya sudah ada hasilnya?” tanya saya sambil terus mengiris bawang hendak membuat tempe mendoan.
“Ada, Un. Tapi kecil-kecil nilainya,” katanya lagi.
Ia mengatakannya dengan sangat ringan tanpa beban “takut dimarahin” karena nilainya tidak sempurna.
“Oh, iya nanti Unda lihat setelah selesai masak ya,” jawab saya.
Anak itu pun mengangguk lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya; menyiram tanaman.
**
Sepuluh menit kemudian Atha kembali menghampiri saya ke dapur. Saya iseng bertanya, “kenapa Atha semangat sekali menyiram tanaman?”
“Karena Atha senang menolong Unda,” jawabnya.
“Kenapa senang menolong Unda?” tanya saya lagi penasaran.
“Karena Atha pengen dapat pahala,” jawabnya lagi.
Dada saya terhenyak mendengar jawaban itu.
“Masyaallah. Terima kasih ya, Jagoan,” ucap saya sambil mengucek ubun-ubunnya dan Atha protes karena rambutnya berantakan.
**
Selesai masak, saya pamit mandi sebentar, karena sudah hampir magrib. Atha pun patuh menunggu.
“Nih, Un. Kata bu guru kalau sudah dilihat, ini dihekter dan ditandatangani, lalu besok dikumpulkan lagi,” katanya menjelaskan.
Saya mengangguk lalu menerima lembaran kertas ujian yang berjumlah 7 mata pelajaran. Saya tahu ketujuh pelajaran ini adalah pelajaran yang dipegang langsung oleh wali kelas. Adapun pelajaran lain mungkin tidak disampaikan oleh guru mapel yang bersangkutan.
Saya membukanya satu per satu. Namun ada yang lebih menarik perhatian saya, yaitu sikap Atha yang tampak mulai gelisah mengamati reaksi saya yang sedang membuka-buka nilai ulangan. Ada nilai 68 di antara 7 mapel tersebut. Namun ada juga nilai 88 di mapel IPS sebagai nilai tertinggi Atha dari semua nilai ujian akhir tahun. Oh iya, ini adalah ujian pertama di sekolah baru Atha.
“Maaf ya, Un. Cuma segitu,” katanya pelan.
“Yang lain emang pada bagus?”
“Riko IPA nya 100, Un,” katanya menyebutkan nilai ujian milik teman sebangku.
Saya tersenyum, paham betul apa yang dicemaskan Atha karena mendapat nilai 76.
“Gak apa-apa…. Tapi Atha sekarang tahu kan, kelas 6 nanti harus seperti apa?”
“Iya, Un,” jawabnya.
“Kalau sudah kelas enam, mulai jatahkan waktu untuk belajar dan buka buku di rumah ya! Di sekolah negeri itu sudah biasa saingan nilai, Dek. Atha harus lebih maksimalkan lagi fokusnya! Belajar bagi waktu kapan main, kapan santai, dan kapan harus belajar. Unda tahu Atha pasti bisa.”
“Unda gak kecewa?” tanya Atha. Tatapan matanya sendu.
“Enggak,” jawab saya sambil tersenyum.
Atha pun terlihat lebih tenang dan lega setelah mendengar jawaban saya.
Sebenarnya, saya bisa saja memintanya belajar lebih serius karena tahu betul anak ini memiliki potensi lebih. Pemahamannya terhadap pelajaran pun sangat baik. Asal mau menyimak dan mengamati, dia langsung mengerti. Namun pas mau ujian Atha masih pakai sistem kebut sesaat. Dua pelajaran dipelajari hanya dua jam saja.
“Udah ah, nge hank kepalanya,” katanya setelah jenuh baca buku dalam rangka persiapan ujian. Dan anehnya saya lebih memilih untuk mengatakan, “ya sudah kalau sudah puyeng.”
Jujur, rasanya saya belum tega kalau harus menuntutnya lebih keras belajar. Saya lebih senang melihat dia bahagia. Main bola sampai berkeringat, bercerita ini itu tanpa beban, pergi ke masjid dengan riang gembira, melihatnya bertanggung jawab dengan tugas sederhananya di rumah, nurut ketika dikasih tahu dan kelebihan lain yang dimilikinya.
Saya minta tolong ke warung, angkatin jemuran, minta tolong ambilin ini itu, menyapu lantai dan batu beres-beres hingga nungguin masakan saat saya tinggal sebentar dia selalu siap sedia tanpa protes. Masyaallah tabarakallah.
Satu-satu saja ya, Dek… Sekarang kita fokus di karakter saja dulu. Unda yakin, setelah ini kamu akan lebih bertanggung jawab atas tugasmu sebagai seorang siswa di sekolah. Lihat nilai orang lebih besar, kamu pasti termotivasi untuk lebih baik lagi.
Unda gak akan nuntut agar kamu jadi yang terbaik di kelas. Jadilah yang terbaik versimu sendiri. Unda sangat mengapresiasi usahamu sejauh ini untuk menjadi yang terbaik sebagai anak lelaki dan sebagai hamba Allah. Itu sudah jauh lebih dari cukup untuk Unda.
Sehat-sehat ya, Nak.
+ There are no comments
Add yours