
Ilustrasi Mudik (Gambar: Abdul ridwan/Unsplash)
Ramadan #25. Lahir dan besar di Bandung, kota yang tak pernah benar-benar jauh dari hiruk pikuk kehidupan, mudik Lebaran adalah sebuah konsep asing bagiku.
Ke mana aku harus pulang? Pertanyaan itu selalu menggantung di udara, tanpa jawaban yang pasti. Masa kecilku diwarnai perpindahan, dari hangatnya pelukan Bandung ke dinginnya kesendirian di Pangandaran. Ibu, sosok yang seharusnya menjadi jangkar kehidupanku, pergi jauh, kembali ke Cililin, menemui kakak tertua yang membutuhkan perhatiannya. Sakitnya merenggut kesempatan kami untuk bersama, dan aku, bocah kecil, terdampar di Pangandaran, sendirian.
Hotel kecil itu menjadi rumahku, dan pemiliknya, malaikat tak bersayap yang menampungku, memberiku atap dan kesempatan untuk bersekolah. Namun, di balik keramahan mereka, ada tembok tak kasatmata yang memisahkanku dari dunia luar. Aku terkungkung, tak bisa menjenguk ibu, tak bisa mengucapkan selamat tinggal saat ia pergi untuk selamanya.
Setiap kali Lebaran tiba, aku hanya bisa menatap nanar rombongan kendaraan yang melintas, membayangkan hangatnya pelukan keluarga, riuhnya tawa anak-anak, dan aroma masakan khas kampung halaman. Aku iri, tentu saja. Iri pada mereka yang memiliki tempat untuk pulang, pada mereka yang memiliki keluarga untuk dirindukan.
Namun, hidup selalu punya cara untuk memberiku kejutan. Takdir mempertemukanku dengan seorang perempuan Subang, yang kemudian menjadi istriku. Bersamanya, aku menemukan arti baru dari mudik. Tegal Koneng, kampung halamannya, menjadi tujuanku setiap Lebaran.
Perjalanan ke sana memang melelahkan, tetapi kerinduan akan keluarga istri dan kegembiraan anak-anakku membuat setiap kilometer terasa berharga. Kini, mudik bukan lagi sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosional, perjalanan untuk merajut kembali benang-benang keluarga yang sempat terputus.
Melihat anak-anakku berlarian di sawah, bermain dengan sepupu mereka, dan mencium tangan kakek nenek mereka, hatiku dipenuhi kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Mudik, yang dulu hanya menjadi mimpi, kini menjadi bagian dari hidupku, bagian dari kebahagiaan keluargaku.
Mudik bukan hanya tentang pulang ke kampung halaman, tetapi juga tentang pulang ke hati, ke tempat di mana cinta dan kenangan bersemayam. Mudik adalah tentang menemukan arti keluarga, arti kebersamaan, dan arti rumah. Dan aku, yang dulu tak pernah mengenal mudik, kini telah menemukan rumahku di Tegal Koneng.