
Di antara sekian banyak nasihat kehidupan, ada satu nasihat dari Umar bin Khattab yang begitu dalam maknanya, menghujam ke relung hati manusia yang paling sunyi:
“Jangan pernah merasa diri kita lebih baik dari orang lain, karena kita tidak pernah tahu berapa banyak kebaikan dan amal yang ia rahasiakan bersama Allah. Andai kamu keluar rumah, anggaplah semua yang ada di sekelilingmu baik kecuali dirimu.”
Pernyataan ini bukan sekadar untaian kata, melainkan cerminan kebijaksanaan seorang sahabat Nabi yang telah ditempa kerasnya kehidupan, menjadi pemimpin yang tegas, namun tetap merunduk dalam kerendahan hati.
Ia yang berkuasa atas jazirah Arab, yang di masa kepemimpinannya Islam meluas hingga ke Persia dan Romawi Timur, justru mengajarkan kita untuk tidak sedikit pun merasa lebih unggul dari orang lain.
Kita hidup di dunia yang sering kali memperdaya, membungkus diri kita dalam ego yang halus—kadang tersembunyi dalam amal ibadah, dalam kesuksesan, dalam status sosial, atau bahkan dalam merasa diri lebih berilmu dan lebih bertakwa.
Namun, siapa yang bisa memastikan bahwa amal kita diterima? Siapa yang tahu, di antara wajah-wajah sederhana yang kita temui di jalan, ada yang diam-diam menangis dalam sujudnya di sepertiga malam, ada yang setiap langkahnya adalah doa, ada yang dalam keheningan memberi tanpa seorang pun tahu?
Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang setiap malam menggendong karung gandum untuk rakyatnya, yang rela tidur beralaskan pasir saat bepergian agar tidak diperlakukan lebih dari rakyatnya, memahami hakikat sejati kehidupan: bahwa hanya Allah yang mengetahui kedudukan hamba-hamba-Nya. Maka, ia mengajarkan, jika engkau keluar rumah, anggaplah semua orang lebih baik darimu, karena bisa jadi mereka memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Allah, meskipun di mata manusia tampak biasa saja.
Bayangkan seseorang yang setiap hari kita pandang sebelah mata—seorang petani tua di ladang, seorang buruh kasar di jalanan, seorang anak kecil yang lusuh pakaiannya. Bagaimana jika tangan-tangan mereka yang tampak lemah justru lebih kuat di hadapan Allah, karena mereka bekerja dengan penuh ketulusan dan kejujuran? Bagaimana jika doa-doa mereka lebih dulu menembus langit dibandingkan doa-doa kita yang berlumur riya dan harapan duniawi?
Maka, nasihat ini bukan sekadar ajakan untuk rendah hati, tetapi juga tamparan bagi jiwa yang sering lupa. Jika kita merasa lebih baik dari orang lain, bisa jadi kita justru sedang berada di jurang kesombongan yang tak terlihat. Dan kesombongan sekecil apa pun, sebagaimana sabda Rasulullah, cukup untuk menjauhkan seseorang dari surga.
Mari belajar dari Umar bin Khattab. Bukan hanya dari kekuatan dan keberaniannya, tetapi dari ketundukannya pada kebenaran, dari sikapnya yang tidak pernah menganggap dirinya lebih tinggi dari siapa pun. Karena pada akhirnya, dalam kehidupan ini, yang kita butuhkan bukan pengakuan manusia, tetapi penerimaan Allah.
Semoga kita termasuk orang-orang yang berjuang untuk merunduk dalam cahaya, agar kelak kita diangkat dalam kemuliaan yang hakiki.
Wallahu’alam