Jumat pagi, Bandung terasa begitu dingin. Angin sepoi-sepoi yang merasuk ke kamarku melalui kaca jendela menambah dinginnya pagi ini. Aku duduk di sisian ranjang, kembali menghirup udara segar sambil berusaha menahan diri untuk tidak tergoda dengan kehangatan selimut sisa semalam. Belum kulipat, masih menggulung kusut di atas ranjang.
Cicit burung masih bisa kudengar di pukul enam pagi. Halamanku dipenuhi dengan pepohonan dan berbagai tanaman berdaun rindang.
“Selamat pagi!”
Jemariku tiba-tiba mengetik kalimat itu. Dikirimkan ke nomor whatsapp milik seseorang yang selalu muncul pertama kali dalam ingatan setiap aku bangun pagi dan yang paling tak bisa aku enyahkan bayangannya di setiap jam tidurku malam hari enam bulan terakhir ini.
Dan pagi ini, sungguh aku rindu.
Ia laki-laki berusia 40 tahun, yang menurutku sedikitpun tak berkurang kegantengannya walaupun usianya sudah kepala empat dan merupakan ayah dari seoranganak laki-laki. Kulitnya masih sangat kencang seperti laki-laki kuliahan seangkatanku yang masih duduk di smester bawah. Perawakannya tinggi, kulit sawo matang bersih. Rambut hitam, hidungnya mancung, dan satu hal dari tampilan wajahnya yang tak dapat aku lupakan sampai kapanpum. Yaitu senyumnya yang sangat manis. Membuat getaran-getaran nikmat itu muncul ketika aku melihatnya. Bahkan ketika aku hanya sekedar mengingatnya saja pun senyum itu telah membuat aku merasa bahagia dan merasa akan memiliki hidup lebih lama.
Ia yang telah mengubah tujuan hidupku. Aku yang malas, serta memandang bahwa hidup itu gampang, telah diubahnya menjadi orang yang mau bekerja keras. Memandang bahwa hidup itu tantangan. Kita memliki kewajiban untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupan yang sedang kita jalani.
Aku yang tak jarang merasa kecewa dengan keadaan, diubahnya menjadi lebih kuat. Menjadi mengerti jika hidup itu bukan tentang semua yang kita inginkan, namun tentang semua yang sedang kita jalani sekarang. Aku yang kadang masih suka putus asa, menjadi yakin jika hidup itu bisa aku kendalikan. Dengan usaha, do’a, semangat, dan senyuman. Ia mengajariku tentang banyak hal. Dan ketika aku merasa putus asa, maka mas Yoga-lah yang bisa menjadikan semangatku kembali menyala. Dan dialah yang membuatku semakin semangat untuk segera menyelesaikan kuliahku. (Sukses kuliahku untuk mu Mas)
**
Pesan whatsapp belum ada balasan sampai selama kurang lebih 10 menit. Rasanya ada kegelisahan tersendiri menunggu balasan darinya. Balasan pesan yang selalu membuat aku merasa tenang dan membuat semangatku bertambah puluhan persen di pagi hari saat aku memulai aktifitas, siang hari saat aku mulai merasa penat dengan kegiatan dan tugas perkuliahan, sore hari ketika aku mulai merasa lelah dan energiku tinggal separuh, dan malam hari ketika tubuhku mulai merasa butuh istirahat dan pergi ke tempat tidur.
Yoga, namanya sederhana. Sesederhana sikapnya. Yang tak pernah mengada-ada sikap dan perbuatannya. Semua aku rasakan begitu tulus tanpa modus, begitu jujur tanpa maksud tertentu yang ada di balik kebaikan sikapnya terhadapku.
Hal lain yang membuat aku semakin jatuh hati padanya ialah kasih sayangnya terhadap putranya, sikap kebapakannya, serta kesabarannya membesarkan anak sendirian tanpa bantuan asisten rumahtangga membuat kau tak bertehnti merasa kagum kepadanya. Yona, putranya pun tumbuh dengan ceria dan aku dengar ia selalu berprestasi di sekolahnya. Sungguh mas Yoga adalah ayah yang hebat.
Namun demikian, entah bagaimana caranya walaupun ia tampak sangat sibuk, tapi kehiduapannya ia jalani dengan santai. Tak pernah terlihat garis kelelahan di wajahnya. ia selalu terlihat bagagia. Mungkin hal itulah yang membuat dia selalu terlihat awet muda dan selalu tampil menarik setiap harinya.
15 menit berlalu, pesan balasan belum juga datang. Padahal jelas pesan itu terkirim. Dan sudah dibacanya. Sesaat kemudian mulai timbul perasaan bersalah. Takut jika pesan ku yang tadi aku kirimkan telah membuatnya terganggu di pagi hari. Mungkin dia sedang sibuk mempersiapkan anaknya untuk pergi ke sekolah. Menyiapakan sarapan, memakaikan bajunya, lalu mengantarkan anak semata wayangnya itu ke sekolah. Memastikan harta berharganya itu sampai di sekolah dengan selamat, menitipkan putranya kepada ibu dan bapak gurunya di sekolah. Setelah itu barulah ia mulai berangkat ke tempat kerjanya. Sebuah kantor pemasaran proferti yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat putranya bersekolah.
Yoga, adalah seorang single parent. Sudah empat tahun ia membesarkan anaknya dengan tangannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Putranya kini bersekolah dan duduk di bangku kelas dua SD. Istrinya meninggal empat tahun yang lalu karena kecelakaan. Yoga adalah ayah yang baik, ia mampu mengurus putranya, rumahnya, serta pekerjaannya seorang diri. Puluhan perempuan dibuatnya jatuh hati kepadanya. Termasuk aku.
Ya, memang, sejak mengenal dia, aku telah jatuh hati kepadanya. Bahkan sejak mbak Diah masih hidup. Mas Yoga adalah suami yang baik, penyayang dan perhatian sekali kepada keluarga. Melihat kasih sayang yang begitu besar kepada mbak Diah membuat aku merasa iri. Membuat aku bercita-cita ingin sekali memiliki suami seperti dia kelak ketika aku memiliki pasangan nanti.
Namun, entah sejak kapan cita-cita itu berubah menjadi “Aku ingin memiliki suami bernama Yoga, Yoga yang baik, Yoga suaminya almarhumah mbak Diah” Mohon maaf untuk mbak Diah yang telah tiada. Aku tak bermaksud untuk merebut cinta mas Yoga darimu. Tapi mbak kini telah tiada, aku do’akan mbak tenang di sisi Nya, terimakasih mbak telah menjaga mas Yoga selama ini.
20 menit, balasan dari Yoga belum juga datang. Aku mulai bosan duduk menunggu. Jam telah menunjukkan pukul 7 pagi. Aku beranjak menuju kamar mandi, jam 09:00 ada kuliah.
**
Jalanan lancar mungkin karena ini bukan hari senin. Perjalananku menuju kampus hanya memerlukan waktu 15 menit.
Aku temui rekan-rekan sekelasku yang sedang menunggu dosen di ruangan kelas. Satu persatu aku sapa, sekedar berbasa-basi kepada mereka. Rasanya pagi ini begitu hampa tanpa balasan WA darinya. “Kemana kamu Mas?”. Gumamku dalam hati.
Dosen mata kuliah pertama sudah tiba di ruangan. Menyampaikan materi perkuliahan dengan caranya yang khas, seharusnya ini menjadi mata kuliah yang paling menarik perhatianku. Tapi tak seperti biasanya kali ini aku tak bosan-bosannya melirik ponselku. Rasanya tak bisa berkonsentrasi sedikitpun tanpa adanya kabar dari Mas Yoga. “Kemana kamu Mas?’
Jam demi jam berlalu. Ku mencoba menyapa kembali.
“Selamat solat jum’at ya Mas. Jangan lupa makan siang sesudahnya.”
Tak lupa aku bubuhkan emoticon senyum untuknya.
Detik menit dan jam beralu. Mas Yoga tak memberi balasan. Sempat terfikirkan ingin menelponnya. Tapi niat itu aku urungkan. Takut menganggu pekerjaannya. Tapi dimakanah dia? Membuat khawatir saja.
**
Rasanya siang ini aku tak memiliki rasa lapar. Laparku hanya lapar akan balasan WA. Laparku hanya lapar dengan kabar darinya. Aku merasakan haus dan dahaga yang berkepanjangan jika sepanjaang siang tanpa kabar darinya.
“Dor!” Ammy mengagetkan lamunanku.
“Apa My? Bikin kaget aja”.
“Kamu gak makan siang? Ayo kita ke Kedai bakso Mang Iyan.” Ajaknya penuh semangat.
“Aku tak lapar” Gumamku padanya. Dibalas dengan mimik manyun teman baikku itu. Melihat ekspresinya yang demikian aku tak tega membiarkannya makan bakso sendirian. Akhirnya aku menurut padanya.
Jam dua siang di kedai bakso mang Iyan.
Udara begitu terik, panas rasanya. Amy melahap bakso dengan semangat, lapar katanya. Aku hanya memesen segelas jus alpukat penghilang dahaga. Mang Iyan tampak sibuk melayani pelannggan yang lumayan ramai.
Telepon genggamku berdering. Mas Yoga memanggil. Jantungku berdebar kencang, terlampau senang.
“Assalamualaikum…”
Suaranya menyapa hangat. Ah, Mas Yoga hatiku rontok, mendengar suaramu. Sudah lama tak mendengar suaramu, rindu rasanya.
“Waalaikumsalam Mas…”
“Lagi di mana? Sudah makan siang belum?”
“Lagi nemenin Amy di kedai bakso Mang Iyan Mas…”
“Lha itu, kenapa Cuma nemenin?”
“Gak laper Mas…”
“Hm… Mas Tahu nih, jangan-jangan gara-gara WA nya gak Mas bales ya?”
“Hm… Mas kemana aja?”
Amy berdehem kenceng sengaja agar mas Yoga tahu.
“Itu suara Amy ya?” Tanya Mas Yoga.
“Iya Mas, Mas kemana aja? Aku nungguin kabar.”
“Iya… maafin Mas mu ya, tadi Mas sibuk banget. Ada kerjaan, terus rapat orangtua siswa di sekolahnya jagoan. Gak ada yang bisa handle, maklum Mas sendirian. Kasian Yona.”
“Oh… begitu… kenapa gak telpon aku?”
“Iya kan Mas bilang, Mas lagi sibuk”
“Bukan Mas… Maksud aku, telpon aku buat rapat ke sekolah yona gitu…”
“Hm… iya ya, kamu kan mama nya…” Mas Yoga tertawa. Walau ia tertawa begitu aku tahu ada harapan yang dalam, pada ucapannya. Semoga.
“Heheh… ya… setidaknya Mas gak keganggu pekerjaannya. “
“Hm, iya, lain kali deh. Hari ini gak apa-apa. Urusan Yona sudah aman.”
“Iya Mas, Syukurlah”
Aku bercakap-cakap dengan mas Yoga tanpa menghiraukan Amy yang pura-pura kepedesan minta diambilkan air minum, cari-cari perhatian agar aku segera menutup telepon dengan mas Yoga. Ia memang begitu, mau nya kepo-in ceritaku sama duda keren ku. Maksudku mas Yoga. Amy menyebut mas Yoga begitu. Duda keren.
Telepon sudah diputus, mas Yoga janji akan menjeputku nanti sore. Amy berjingkrak-jingkrak senang.
“Tantri, kamu kalau menikah dengan si mas duda keren aku dukung dan bersyukur banget deh pokoknya.” Ucatnya setelah meneguk minumannya. “Dia baik banget pokoknya, dan yang pasti dewasa banget deh, kamu bakalan terjaga hati dan perasaannya jika mendapatkan pasangan yang kayak mas Yoga.”
“Ah, kamu… jangan begitu, aku tak tahu mas Yoga itu serius sama aku atau tidak, lagian Yona belum tentu suka mama nya digantikan.” Dalam hatiku aku tahu jika Mas-ku serius padaku. Terasa sekali perhatiannya selama ini. Tapi aku tak pernah mau memunculkan keyakinan itu di depan Amy si rempong.
“Alaaaah, aku yakin Yona seneng punya mama baru kayak kamu.” Amy begitu yakin.
“Sudahlah My… jalan kita masih panjang, masih smester lima lho…” Aku berusaha sedikit sadar diri jika aku masih anak kuliahan, perjalananku masih panjang.
Sungguh kabar dari mas-ku dapat mengubah segalanya. Jenuh menjadi senang, cuaca yang panas menjadi sejuk, haus dahaga menjadi hilang seketika, lapar menjadi kenyang, resah dan gelisah menjadi kebahagiaan yang tak terkira.
(Tapi jangan sampai kau membuatku menunggu terlalu lama Mas, keadaan akan menjadi terbalik. Keadaan baik akan terasa lebih buruk jika tanpa kabar darimu.)
Namun jujur, aku benar-benar mencintai mas-ku. Dan aku selalu menunggu sesuatu yang aku harapkan dalam kehidupanku tentang mas Yoga itu menjadi kenyataan. Jika kelak ia benar-benar mengajakku menikah, aku pasti mau.
+ There are no comments
Add yours