
Oleh Dede Komarudin Soleh*
Hari raya adalah hari dimana kita semua merasakan kebahagiaan. Dan ini adalah fitrah bagi kita, sebagaimana Nabi Saw. pernah bersabda:
للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح، وإذا لقي ربه فرح
“Bagi orang yang shaum ada dua kebahagiaan, yaitu ketika tiba hari raya Idul Fitri dan ketika nanti berjumpa dengan Tuhannya”
Namun harus kita sadari bahwa perjuangan kita belum selesai sampai disini. Dalam menjalani hidup setelah Ramadhan, kita memiliki tugas yang sangat besar dan mungkin juga berat, yaitu menjaga ketaatan kepada Allah Swt.
Ketaatan yang kita bangun selama satu bulan, tidak boleh berhenti bersamaan dengan berakhirnya bulan suci Ramadhan, karena kita adalah para penyembah Allah dan bukan para penyembah bulan Ramadhan.
Ada beberapa hal diantaranya yang harus kita lakukan, agar ketaatan kepada Allah tetap terjaga setelah Ramadhan.
Pertama, belajar menjadi orang yang sabar
Secara bahasa, sabar berasal dari kata _shabara_, yang berarti “_al-habsu_”, yaitu menahan diri. Adapun secara istilah sabar adalah:
حَبْسُ النَّفْسِ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ, وَاجْتِنَابِ مَعَاصِيهِ، وَعَدَمُ التَّسَخُّطِ عَلَى قَضَاءِ اللَّهِ وَقَدَرِهِ
Menahan diri dalam ketaatan kepada Allah, menjauhi maksiat, serta tidak berkeluh kesah terhadap ketetapan dan takdir Allah.
Definisi ini menyebutkan bahwa kesabaran itu ada dalam tiga perkara; Pertama, sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, yaitu menahan diri untuk tidak meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah. Kedua, sabar dalam menjauhi maksiat, yaitu menahan diri untuk tidak melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Ketiga, sabar dalam menerima cobaan, yaitu menahan diri untuk tidak berkeluh kesah atas takdir yang ditetapkan oleh Allah.
Artinya sabar itu bukan hanya sikap mental ketika kita menghadapi musibah, namun juga sikap mental dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt.
Barangkali itulah kenapa, kita seringkali tidak mampu menjaga ketaatan kepada Allah Swt. karena lemahnya kesabaran yang kita miliki. Kita seringkali tidak mampu menahan diri untuk tidak tergoda oleh berbagai macam godaan setan.
Di dalam sebuah hadits Nabi Saw. pernah bersabda:
حُجِبت النار بالشهوات، وحُجبت الجنة بالمَكَاره
“Neraka itu disekat dengan syahwat, sedangkan syurga disekat dengan hal-hal yang tidak disenangi” (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini Rasulullah Saw. memberikan sebuah perumpamaan, seolah-olah neraka itu disekat, sehingga manusia tidak perlu khawatir akan terjatuh ke dalam neraka selama dia tidak merusak sekatnya.
Artinya, seseorang akan dijauhkan dari api neraka selama dia tidak merusak sekat antara dirinya dan neraka dengan cara maksiat. Sebaliknya, dia akan didekatkan kepada surga selama dia mau membuka sekat antara dirinya dan surga dengan cara taat. Dalam hal ini diperlukan kesabaran.
Kecondongan hawa nafsu kita kepada salah satu diantara dua sekat tersebut adalah tergantung seberapa kita memiliki kesabaran. Bagi orang yang hatinya buta dari keimanan dan kesabaran, maka dia tidak akan melihat neraka, dan yang terlihat hanyalah sisi-sisi kesenangannya saja.
Ibarat seekor tikus yang tertarik pada kepala ikan yang ada di dalam sebuah perangkap. Dia hanya melihat kepala ikan tanpa menyadari adanya perangkap yang akan mencelakainya.
Sebaliknya bagi orang yang memiliki keimanan dan kesabaran, surga itu ibarat emas yang terkubur di bawah tanah yang kering. Dia tidak peduli seberapa keras tanah itu untuk digali, dia hanya fokus pada emas yang ada di bawahnya. Sehingga dia tidak merasa berat untuk menggalinya.
Maka sekali lagi, agar hati kita condong pada ibadah dan ketaatan, hendaklah kita memiliki kesabaran. Sabar dalam menghadapi godaan dan sabar dalam beratnya melaksanakan kebaikan.
Kedua belajar menjadi orang yang takut kepada Allah
Di dalam Al-Qur’an ada dua kata yang sering digunakan ketika menyatakan rasa takut, yaitu kata khauf dan kata khasyah. Secara arti dua kata ini memiliki arti yang sama, yaitu rasa takut, di dalam bahasa Arab ini disebut dengan mutaradif atau sinonim dalam bahasa Indonesia. Namun ada perbedaan konteks dan makna diantara kedua kata tersebut, diantaranya:
Pertama, kata khauf digunakan untuk menyatakan rasa takut baik kepada Allah maupun kepada selain Allah, sedangkan kata khasyah digunakan khusus untuk menyatakan rasa takut kepada Allah. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:
ٱلَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَٰلَٰتِ ٱللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُۥ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا ٱللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al-Ahzab: 39)
Kedua, kata khauf adalah rasa takut yang didasarkan kepada dugaan, perkiraan, atau kekhawatiran, sedangkan kata khasyah adalah rasa takut yang didasarkan pada pengetahuan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (hanyalah orang-orang yang berilmu) (QS. Fathir: 28)
Dengan demikian, agar kita menjadi orang-orang yang takut kepada Allah Swt., hendaklah kita mengilmui diri kita dengan ilmu agama, yang bersumber dari Al-Qur’an dan juga hadits Nabi yang shahih. Kita ilmui diri kita dengan ilmu tentang Allah, tentang surga, tentang neraka, tentang pahala, dan juga tentang dosa.
Misalnya tentang dosa. Dosa bukanlah sekedar catatan amal yang balasannya akan diterima nanti di akhirat. Bahkan sejak di dunia akan menjauhkan seseorang dari ketenangan.
Keruhnya pikiran, kegelisahan, keputusasaan, rendah diri, dan rasa tidak pantas untuk menerima kebaikan Tuhan, itu hal-hal yang seringkali membayangi para pelaku dosa. Kalaupun dia merasakan nikmat ketika sedang melakukannya, maka itu hanyalah kenikmatan palsu dan sesaat.
Bahkan dalil-dalil agama mengisyaratkan bahwa perbuatan dosa itu dapat menyebabkan kesempitan, kefakiran, dan kemiskinan. Sebagaimana di dalam Al-Qur’an Allah Swt. berfirman:
وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً, يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ, فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ, فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ, بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 112)
Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:
إِنَّ العَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ
“Sesungguhnya seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang dilakukannya” (HR. Ahmad)
Kalaupun ada orang yang rezekinya lancar walau dia bergelimang dosa, maka itu adalah rencana Allah untuk melipatgandakan siksa untuknya nanti di akhirat, yang dalam istilah agama disebut dengan _istidraj_. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ, فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ, حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟, أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Menjelaskan ayat ini Nabi Saw. bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي العبدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعاصيه مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاج
“Jika kamu melihat Allah memberikan kesenangan dunia kepada seorang hamba yang suka bermaksiat, maka sesungguhnya hal itu adalah istidraj.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Berbanding terbalik dengan perbuatan dosa, sikap taat kepada Allah Swt. akan mendatangkan banyak manfaat. Diantaranya:
Pertama, merasakan ketenangan hati. Nabi Muhamad Saw. bersabda:
اْلبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ اْلقَلْبُ، وَالإِثْمُ مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ
Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa itu adalah sesuatu yang meresahkan jiwa dan membimbangkan dada (HR. Ahmad)
Kedua, diberikan jalan keluar dari setiap kesulitan dan memperoleh rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah Swt berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ (3)
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka/ (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Ketiga, diberikan kehidupan yang baik dan pahala yang lebih baik. Allah Swt. berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Keempat, terhindar dari banyaknya masalah dalam kehidupan. Sebagaimana Allah berfirman:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). ” (QS. Asy-Syura: 30).
Kelima, menjadi penghuni surga. Allah Swt. berfirman:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَن يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَاباً أَلِيماً
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih. ( Qs. al-Fath : 17 )
Demikianlah dua hal yang harus kita lakukan agar kita senantiasa mampu menjaga ketaatan kepada Allah Swt. Pertama, belajar menjadi orang sabar. Kedua, belajar menjadi orang yang takut kepada Allah Swt.
*Penulis adalah ketua Prodi Ilmu Hadis IAI PERSIS Bandung.