
Catatan Ramadan#10. Allah adalah awal yang tak berawal, akhir yang tak berujung. Dalam keheningan-Nya, seluruh semesta berpulang: lahir, tumbuh, lalu musnah. Tapi di antara siklus sakral itu, manusia kerap lupa bahwa mereka hanya tamu yang diberi amanah untuk merawat bumi. Ketika hutan digunduli, sungai dikeruk sedimennya, dan tanah dijejali beton, alam pun merintih. Banjir di Bogor, Dayeuhkolot, atau Bekasi bukan sekadar fenomena alam; itu adalah jerit bumi yang kelelahan menanggung dosa kelalaian kita.
Teologi Lingkungan: Antara Khalifah dan Kerusakan
Dalam Islam, manusia disebut sebagai khalifah—pemimpin yang diberi mandat untuk memelihara keseimbangan alam (QS Al-Baqarah: 30). Tapi hari ini, mandat itu seperti terkubur dalam timbunan sampah dan keserakahan. Allah menciptakan langit dan bumi dengan mizan (keseimbangan), tetapi tangan manusia mengubahnya menjadi fasad (kerusakan). Ketika hujan turun di Bandung, banjir melanda Dayeuhkolot bukan karena langit murka, melainkan karena drainase yang tersumbat sampah, lahan resapan yang hilang, dan kebijakan tata kota yang abai.
Bencana alam adalah cermin dari bencana moral. Kita hanya peduli ketika air sudah membanjiri ruang tamu, atau ketika tanah longsor mengubur permukiman. Pemerintah dan masyarakat sibuk berdebat tentang respons darurat, tetapi lupa bahwa akar masalahnya adalah kelalaian preventif. Di musim kemarau, saluran air tak pernah dibersihkan, hutan kota dikorbankan untuk mall, dan aturan lingkungan dilanggar demi proyek infrastruktur. Lalu, ketika hujan datang, kita menyalahkan “siklus alam” sambil berdoa meminta ampunan.
Ramadan: Momentum Menggali Kembali Kesadaran Kosmis
Bulan Ramadan seharusnya menjadi waktu untuk merenung: apakah kita hanya meminta ampunan untuk dosa personal, tetapi mengabaikan dosa kolektif terhadap bumi? Puasa mengajarkan pengendalian diri—bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari keserakahan yang merusak lingkungan. Setiap kali kita membuang sampah sembarangan, menebang pohon tanpa izin, atau memilih bungkus plastik ketimbang tumbler, kita sedang mengikis sedikit demi sedikit amanah sebagai khalifah.
Ramadan juga mengingatkan tentang hari kiamat—saat seluruh perbuatan manusia dihadapkan. Bayangkan: jika satu kota seperti Bogor bisa kolaps karena banjir, bagaimana nanti ketika seluruh bumi digulung ke dalam kehancuran? Kiamat mungkin konsep eskatologis, tetapi bencana ekologis hari ini adalah peringatan kecil dari-Nya: kita sedang menabung kehancuran untuk anak cucu.
Dari Teologi ke Aksi: Menyatukan Iman dan Ekologi
Tidak cukup hanya dengan salat istisqa meminta hujan berhenti. Iman harus diwujudkan dalam aksi nyata. Pemerintah perlu menjadikan lingkungan sebagai prioritas lintas sektoral, bukan sekadar proyek musiman. Pembangunan harus berorientasi pada keberlanjutan, bukan eksploitasi. Masyarakat pun perlu bangkit dari apati: menanam pohon di pekarangan, mengelola sampah mandiri, atau mengawasi kebijakan yang mengancam ekosistem.
Pendidikan lingkungan juga harus menyentuh ranah spiritual. Mengajarkan bahwa merusak alam sama dengan mengkhianati titah Ilahi. Setiap kali kita menyelamatkan satu pohon, itu adalah sedekah untuk bumi. Setiap kali kita menghemat air, itu adalah bentuk syukur atas karunia-Nya.
Cindekna Memulihkan Bumi, Memperbaiki Diri
Allah Maha Pengampun, tetapi ampunan bukan tiket untuk terus melakukan kesalahan. Di bulan suci ini, mari jadikan refleksi lingkungan sebagai bagian dari taubat. Menjaga alam bukan hanya tugas aktivis atau ahli ekologi, melainkan kewajiban setiap insan yang mengaku mencintai Sang Pencipta. Sebelum kiamat tiba, sebelum bumi benar-benar tak sanggup lagi memikul dosa kita, ada masih waktu untuk memperbaiki diri. Sebab, seperti firman-Nya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia; Allah hendak membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).
Bumi sedang merintih. Sudahkah kita mendengarnya?
*Referensi dari berbagai sumber