Mendua itu tidak mudah. Harus membagi perhatian, membagi rasa, membagi fokus, bahkan harus siap membelah diri. Karena siapa yang memutuskan untuk mendua berarti harus siap melebihkan tenaga, menambah energi, materi, dan segala hal yang mungkin bisa menjadi modal untuk memastikan segala sesuatunya aman terkendali.
Punya dua itu bukan hanya harus siap mendua. Tetapi juga harus sanggup dengan segala risiko yang mungkin bisa terjadi. Seperti halnya seorang ibu yang memiliki lebih dari satu anak, memberikan cinta dengan kadar yang sama itu bisa saja sulit dilakukan walaupun tidak pernah berniat membagi cinta.
Apalagi jika dihadapkan kepada dua pilihan yang sebenarnya tidak bisa dipilih. Dua hal yang berbeda tetapi harus diayomi, dinaungi, dan dikelola dengan sepenuh hati. Kita dipaksa harus menjadi dua sosok bahkan menjadi dua karakter jika perlu. Karena tidak selamanya menjadi diri sendiri bisa diterima dengan lapang hati. Sesekali “menyamar” membohongi diri, adalah salah satu pilihan aman untuk tetap menjaga semuanya baik-baik saja.
Lelah memang. Namun memiliki dua pun berarti harus bisa memperlakukan dua-duanya dengan adil sesuai porsinya. Memenuhi kebutuhan, karena pada dasarnya pemimpin atau raja adalah pelindung, pengayom dan pemberi rasa aman.
Memang ada skala prioritas, mana yang harus disegerakan dan mana yang masih bisa ditunda atau dilakukan secara bersama-sama. Apalagi jika sudah berhubungan dengan nyawa, keselamatan, dan kemaslahatan seseorang. Jelas, itu harus segera disegerakan berdasarkan pertimbangan terbaik.
Namun menjadi pemimpin bukan hanya harus mematangkan logika untuk menimbang, mengukur, lantas memberikan respon dan memberi tindakan. Pemimpin juga harus mampu menajamkan rasa. Mawas diri sehingga mampu mengkaji rasa, “bagaimana jika saya ada di posisi mereka?”
Pemimpin harus selalu siap, sigap dan sanggup. Andai harus pasang badan sekalipun demi kemaslahatan pihak yang ada di bawah kepemimpinannya, maka apapun seharusnya dilakukan. Karena sudah menjadi bagian dari tanggung jawab dan tugas besarnya.
Dalam satu waktu, kadang pemimpin dihadapkan pada pilihan yang berat. Ketika ada sesuatu yang urgen dan harus segera diselesaikan, maka selesaikanlah secepatnya, dengan adil dan maslahat. Misalkan saja, saya sebagai kepala Taman Kanak-kanak mendapatkan undangan rapat penting dengan oraganisasi Ikatan Guru Taman Kanak-kanak. Sementara itu di jenjang lain ada undangan pertemuan dengan jam dan hari yang sama sebagai jabatan dan fungsi serupa. Ya, Qodarullah saya sedang dihadapkan dengan dua tangungjawab yang begitu besar. Mendapatkan amanah menjadi kepala sekolah di dua lembaga dengan jenjang yang berbeda.
Tidak berbeda dengan melakukan poligami. Bicara tentang sisi maslahat di sini tentunya bukan hanya maslahat buat diri pribadi sang pemimpin semata. Namun maslahat bagi semua orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Mau tidak mau pemimpin harus pandai memilih dan menimbang, meskipun kadang harus menyelisihi nuraninya sendiri. Berusaha berbuat adil seadil mungkin adalah satu-satuny ajalan terbaik walaupun jiwa dan raga sudah ingin melambaikan bendera putih tanda menyerah.
Namun tentunya, Allah pun tidak akan pernah salah memilih pundak mana yang layak. Saya selalu berusaha percaya bahwa beban-beban yang kini sedang dihadapi dan berusah adiselesaikan adalah bentuk kepercayaan dari Allah karena saya memiliki kapasitas untuk “mendua” sesuai versi saya. Meskipun lelah, semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan karena apa yang sedang dijalani dan dihadapi adalah sebuah perjalanan mulia yang semoga senantiasa mendapatkan keridhoan-Nya. aamin ya robbal alamiin.
+ There are no comments
Add yours