
Mencintai adalah salah satu emosi paling mendalam yang bisa dirasakan manusia. Namun, ketika cinta itu berubah menjadi rasa sakit, muncul sebuah paradoks: bagaimana mungkin sesuatu yang seharusnya membawa kebahagiaan justru menjadi sumber penderitaan? Paradoks “mencintai sampai sakit” sering muncul dalam dinamika hubungan, baik romantis maupun lainnya.
Di satu sisi, mencintai dengan intensitas tinggi menunjukkan ketulusan dan komitmen. Cinta sejati sering kali digambarkan sebagai pengorbanan tanpa batas, bahkan hingga melampaui kenyamanan pribadi. Namun, ketika cinta menjadi alasan untuk menoleransi rasa sakit emosional, fisik, atau mental, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah itu masih cinta atau justru ketergantungan yang merusak?
Mencintai sampai sakit sering kali lahir dari idealisasi hubungan. Banyak orang percaya bahwa rasa sakit adalah bagian tak terhindarkan dari cinta yang tulus. Narasi ini diperkuat oleh budaya populer yang menggambarkan cinta sejati sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, meskipun itu berarti mengorbankan kesehatan mental atau fisik.
Namun, paradigma ini berbahaya. Rasa sakit yang berkepanjangan dalam cinta dapat merusak harga diri, memunculkan trauma, dan menghancurkan identitas individu. Dalam hubungan yang sehat, cinta seharusnya menjadi ruang yang aman, di mana kedua belah pihak saling mendukung dan membangun, bukan tempat di mana seseorang terus-menerus merasa terluka atau kehilangan diri sendiri.
Paradoks ini mengajarkan kita pentingnya mencintai dengan kesadaran. Mencintai orang lain tidak boleh berarti melupakan mencintai diri sendiri. Ketika cinta berubah menjadi sumber penderitaan yang tak tertahankan, mungkin saatnya untuk mengevaluasi apakah hubungan tersebut masih sehat atau sudah menjadi lingkaran yang merugikan.
Mencintai tidak berarti menghindari konflik atau tantangan, tetapi cinta sejati adalah tentang saling menyembuhkan, bukan saling melukai. Pada akhirnya, cinta yang sehat adalah cinta yang mampu membuat kita tumbuh, bukan cinta yang membuat kita jatuh.
Itulah mengapa harus tetap melibatkan logika ya kang, kejernihan berpikir harus terjaga meski cinta kita sangat besar.