
uku Bumi Manusia (gambar: dari web Spirit Mahasiswa)
Bumi Manusia, mahakarya Pramoedya Ananta Toer, sering dituduh “mengandung SARA” oleh sebagian pembaca yang mungkin kurang memahami esensi kritik sosial di dalamnya. Tuduhan ini justru ironis, karena novel ini sejatinya adalah perlawanan sastra terhadap rasialisme kolonial. Membongkar rasisme tidak sama dengan mempraktikkannya—seperti halnya mengkritik fasisme bukan berarti mendukung kekerasan. Justru, Bumi Manusia menelanjangi struktur diskriminasi era kolonial dengan cara yang cerdas dan menyentuh.
Rasisme sebagai Obyek Kritik, Bukan Keyakinan Pengarang
Novel ini berkisah tentang Minke, pemuda Jawa terpelajar yang diperlakukan sebagai inlander (pribumi rendahan) oleh sistem kolonial Belanda. Setiap tindakan diskriminasi yang dialaminya—seperti penghinaan terhadap intelektualitas pribumi, larangan mencintai perempuan Eropa (Nyai Ontosoroh), atau ketidakadilan hukum—digambarkan bukan untuk menormalisasi rasisme, melainkan untuk mengutuknya. Pramoedya justru membeberkan bagaimana rasisme kolonial merendahkan manusia atas dasar warna kulit dan asal-usul.
Misalnya, ketika Robert Mellema—anak Belanda totok—memandang rendah Minke, pembaca diajak melihat absurditas superioritas ras yang dibangun penjajah. Adegan-adegan seperti ini bukan “mengandung SARA”, melainkan menggugat SARA. Bedanya jelas: rasisme dalam cerita ada sebagai lawan yang harus dikritik, bukan sebagai nilai yang diyakini pengarang.
Nyai Ontosoroh: Korban Sekaligus Pejuang
Karakter Nyai Ontosoroh adalah bukti bahwa Pramoedya tidak menistakan kelompok mana pun. Sebagai perempuan pribumi yang menjadi gundik Belanda, Nyai menghadapi stigma ganda: dijaukah pribumi karena statusnya, direndahkan Belanda karena rasnya. Namun, Pramoedya menulisnya sebagai sosok kuat, cerdas, dan bermartabat—lawan nyata dari stereotip kolonial tentang pribumi yang “primitif”. Di sini, pengarang justru memuliakan yang tertindas, bukan menistakannya.
Bahasa sebagai Alat Dekonstruksi
Pramoedya juga memainkan bahasa untuk membongkar hierarki rasial. Misalnya, istilah “Blanda totok”, “Indo“, atau “Inlander” sengaja dipakai untuk mengekspos bagaimana kolonialisme mengkotak-kotakkan manusia. Ketika Minke dipaksa menyadari “darah Jawanya”, itu adalah kritik atas sistem yang mengukur manusia dari ras, bukan kemanusiaannya. Sekali lagi, ini adalah anti-rasisme, bukan praktik rasisme.
Masalah Membaca Konteks
Tuduhan SARA terhadap Bumi Manusia mungkin muncul dari pembacaan yang literer tanpa mempertimbangkan konteks sejarah dan maksud pengarang. Dalam sastra, tidak semua tokoh rasis mewakili pandangan penulisnya—justru seringkali mereka ada untuk dikalahkan. Jika ada adegan Belanda menghina pribumi, itu adalah cermin nyata sejarah, bukan dukungan terhadap perilaku itu.
Cindeukna: Sastra Pembebasan, Bukan Propaganda Kebencian
Bumi Manusia adalah novel perlawanan. Setiap kata di dalamnya berdiri di pihak yang tertindas: pribumi, perempuan, dan kaum marginal. Menyamakan kritik terhadap rasisme dengan rasisme itu sendiri adalah kekeliruan fatal—seperti menyamakan dokter yang mendiagnosis penyakit dengan penyebab penyakit itu. Pramoedya bukanlah penyebar kebencian, melainkan pejuang kemanusiaan yang menulis untuk membebaskan.
Jadi, tuduhan bahwa novel ini “mengandung SARA” justru mengaburkan pesan utamanya: bahwa kolonialisme lah yang rasis, dan perlawanan terhadapnya adalah kewajiban moral. Seperti kata Pramoedya sendiri: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dan Bumi Manusia mengabadi sebagai saksi kekejaman rasialisme—serta keberanian melawannya.