Mendalami Konsep Rejeki dari Percakapan yang Bermakna

Estimated read time 5 min read
Share This:
See also  Hati-hati dengan Toxic Positif: Mengungkap Dampak Negatif dari Kultur Kepositifan yang Berlebihan

Konsep Rejeki

Memahami konsep rejeki itu gampang-gampang susah. Karena hitungan matematika manusia jauh berbeda bahkan tidak akan pernah sama dengan dengan penghitungan dan ketentuan Allah SWT.

Saya sendiri mengalami banyak perubahan pandangan terhadap konsep rejeki itu sendiri. Seiring dengan waktu, saya banyak menemukan pemahaman-pemahaman baru yang membuat saya jauh lebih tenang menjalani hari-hari tanpa mengkhawatirkan apapun tentang finansial. Termasuk soal siapa yang akan menolong saat saya ada dalam kesulitan; selalu ada Allah yang mendampingi.

Perubahan pandangan itu sendiri, nyatanya hadir dalam diri saya bukan karena saya lulus pesantren brtahun-tahun. Hal itu hadir justru dari hasil perenungan saya setelah berbincang dengan orang-orang yang ternyata sudah memegang erat konsep rejeki dengan penuh keyakinan.

Seorang teman kuliah di pascasarjana yang sudah saya anggap sebagai guru saya sendiri karena beliau adalah seorang ustadz pernah memberi nasihat tentang rejeki. Ketika itu saya sempat mengeluh karena merasa kesulitan mencari tambahan uang untuk bayar semesteran. Sementara waktu mepet dan belum ada bayangan mau dapat uang dari mana.

“Diew, rejeki itu seperti ajal. Dia terus mengejar kita. Sampai kita mati dan terputuslah ia,” katanya.

Lalu saya bertanya, “bagaimana kalau kita gak kerja? Mau dapat dari mana?” Saat itu saya adalah seorang pekerja freelance yang penghasilannya sangat bergantung pada proyek pekerjaan yang digarap. Saya merasa tidak akan mungkin mendapatkan uang dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Dari mana? Gak logis saja rasanya. Job juga sepi.

Beliau pun menjawab, “dia tetap datang. Lihat saja, orang gila masih bisa hidup karena dia menemukan makanan. Semut dan cacing pun tetap hidup karena ada rejekinya. Jangan takut, Allah sudah menjatahkannya pada semua mahluk. Apalagi kalau buat Pendidikan. Allah lho yang nyuruh kita tetap menuntut ilmu. Insyaallah ada jalan,” katanya. “Kalau kamu nanya dari mana, maka beriktiarlah!” sambungnya lagi.

See also  Soal Komitmen Untuk Tepat Waktu

Saya ngangguk-ngangguk. Sebagai orang yang masih “awam” dalam konsep sejeki kali itu. Walaupun jujur, hati masih sangat resah. Pikiran pun terus menghitung waktu yang semakin berjalan mendekati tengat waktu.

Lantas dia pun menjelaskan dengan gamblang bahwa ada tiga jenis rejeki yang datang kepada manusia. Yaitu,

Pertama, rejeki yang dijamin yaitu rejeki yang Allah berikan kepada semua hamba-Nya tanpa terkecuali.

Rezeki ini diberikan kepada setiap orang. Tidak peduli apakah ia bertakwa ataupun yang ahli maksiat. Apakah dia muslim atau bukan.

Kedua, Rejeki yang digantungkan, dalam artian, rejeki ini hanya didapatkan oleh seorang kalau mereka menjemputnya dengan melakukan ikhtiar.

Walaupun rejeki manusia sudah ditentukan, ia wajib berikhtiar dengan cara menjemputnya dan memaksimalkan usaha.

Ketiga, rejeki yang dijanjikan. Ini adalah rejeki yang Allah janjikan kepada orang yang bertakwa. Rejeki jenis ini juga sering disebut dengan rejeki yang tidak disangka-sangka karena seringkali datang tidak terduga.

“Yang kedua dan ketiga ini yang insyaallah akan terjadi kepadamu. Insyaallah pas waktunya pasti ada. Berdoalah!” katanya sambil menatap saya seolah memberikan kekuatan.

Masih terngiang kalimat itu dan entah bagaimana, sebuah keajaiban datang. Tanpa diduga, seseorang yang sudah sangat lama tidak berjumpa mengembalikan uang yang pernah dipinjamnya. Saya pun bisa membayar kuliah tepat waktu.

Sejak mendapatkan “tausiyah” di sela-sela perkuliahan itu, akhirnya saya menjadi sadar bahwa sebenarnya kita tidak boleh berputus asa dalam hal rejeki.

Satu lagi, seseorang yang telah banyak mengajarkan saya tentang konsep rejeki adalah seorang teman baik ketika saya bekerja di sebuah lembaga Pendidikan. Ia yang notabene seorang ustadz dan aktivis, memberikan nasihat terbaik. Sama-sama tidak akan pernah bisa dilupakan.

See also  Bermain-main dengan Waktu

“Jangan pernah mencemaskan rejeki. Ketika kita punya, maka gunakanlah! Karena rejeki itu pada dasarnya yang sudah kita makan dan kita gunakan. Andai kita punya uang dan tidak digunakan karena saking sayangnya takut kehabisan. Lalu malah hilang digondol maling, maka itu bukan rejeki kita walaupun nyatanya semula uang itu ada di tangan kita. Maka jadilah penikmat rejeki, bukan hanya menjadi pengumpul,” katanya.

Sejak saat itu saya tidak lagi berpikir panjang jika memang butuh dan uangnya ada maka saya beli saat itu juga.

Hal itu diperkuat lagi oleh nasihat dari bibi saya. Beliau adalah seorang kepala sekolah yang dikenal sangat dermawan. Banyak anak-anak yang tidak mampu mendapatkan gratis biaya Pendidikan di sekolah yang beliau pimpin (sekolah miliknya). Banyak anak-anak yang sejak masuk sampai lulus mendapatkan berbagai keringanan karena kebijaksanaannya.

Kata bibi, “rejeki itu bagaikan air hujan. Akan lebih banyak kita dapatkan ketika kita banyak menyediakan tempat untuk menanpungnya. Kalau hujan, simpanlah baskom, ember, galon, cangkir dan apapun yang kita punya. Maka semua tempat akan terisi,” katanya.

Dahi saya mengkerut berusaha menafsirkan. Namun karena kahwatir salah tafsir, saya memberanikan diri untuk bertanya, “maksudnya bagaimana, Bi?”

“Bibi punya banyak tanggungan, Teh. Keluarga, karyawan, anak-anak yatim yang menjadi binaan. Anggap itu adalah ember dan baskom yang bibi sediakan untuk menampung air hujan itu. Ketika Allah melihat kita memiliki banyak kebutuhan dengan catatan kebutuhan yang baik, insyaallah kita tidak akan pernah kehabisan harta. Jangan sungkan memberi. Bahkan kepada anak-anak pun sebaiknya lebih banyak memotivasi mereka untuk banyak bersedekah daripada banyak menabung. Dengan memberi, Insyaallah Allah akan selalu mengganti dengan yang jauh lebih banyak dan berokah,” jawabnya.

See also  Hati-hati dengan Toxic Positif: Mengungkap Dampak Negatif dari Kultur Kepositifan yang Berlebihan

Lagi-lagi saya mengangguk-angguk kagum dengan prinsip bibi.

“Satu lagi, Teh,” kata bibi menambahkan.

“Apa, Bi?” tanya saya antusias.

“Lamun artos tos seép, éta téh tandana rék kénging deui. Sing yakin wé! Ulah putus kayakinan! (kalau uang sudah habis, itu tandanya mau dapat lagi. Yakin saja! Jangan putus keyakinan!)” katanya diakhiri dengan tawa.

Saya mencerna kalimatnnya. Mendalami maknanya dan mencoba menerapkan.

Sejak saat itu saya tidak pernah merasa takut untuk jajan dan menghabiskan uang.

Nah lho!

Semoga saya dan para pembaca yang baik hati selalu diberikan kemudahan dan keberkahan rejeki. Aamiin yaa robbal alamiin.

Wallahu ‘alam bisowab.

Share This:
Diantika IE https://ruangpena.id

Author, Blogger, Copy Writer, Content Writer, Ghostwriter, Trainer & Motivator.

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours