
Ada satu malam yang senantiasa dinantikan. Dengan penuh damba dan harap orang-orang yang beriman. Dialah malam yang dijuluki malam seribu bulan.
Ramadan #20. Gemuruh takbir menggema di udara, membelah sunyi malam Ramadan. Di balik jendela kamar, rembulan menggantung anggun, menebar cahaya perak yang menenangkan. Malam itu, seperti malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan, hati berdebar menanti kehadiran tamu agung: Lailatul Qadar.
Sejak kecil, ibu selalu bercerita tentang malam istimewa ini. Malam yang lebih baik dari seribu bulan, malam di mana doa-doa diangkat ke langit, dan ampunan Allah SWT tercurah ruah. Cerita-cerita itu terpatri dalam benak, menumbuhkan kerinduan untuk merasakan keagungan malam itu.
Malam itu, saya bertekad untuk menghidupkan malam dengan ibadah. Setelah sholat tarawih di masjid, saya kembali ke rumah, berwudhu, dan menggelar sajadah. Suasana hening menyelimuti rumah, hanya terdengar suara dengungan kipas angin dan detak jam dinding. Saya mulai melaksanakan sholat malam, rakaat demi rakaat, diiringi lantunan ayat-ayat suci Al-Quran.
Di setiap sujud, hati terasa dekat dengan Sang Pencipta. Doa-doa mengalir deras, memohon ampunan, rahmat, dan hidayah. Air mata tak terasa menetes, membasahi pipi. Malam itu, saya merasakan ketenangan dan kedamaian yang luar biasa, seolah-olah seluruh beban hidup terangkat.
Setelah sholat malam, saya membaca Al-Quran, merenungi makna setiap ayat. Hati terasa lapang, pikiran jernih. Saya merasakan kehadiran Lailatul Qadar, meskipun tidak melihat tanda-tandanya secara langsung.
Menjelang waktu sahur, saya menutup malam itu dengan doa. Memohon agar Allah SWT menerima amal ibadah, mengampuni dosa-dosa, dan memberikan keberkahan di sisa umur.
Malam Lailatul Qadar dan qiyamul lail adalah pengalaman spiritual yang tak terlupakan. Malam itu mengajarkan saya tentang pentingnya mendekatkan diri kepada Allah SWT, menghidupkan malam dengan ibadah, dan merenungi makna kehidupan. Semoga kita semua diberi kesempatan untuk meraih keutamaan malam seribu bulan.