
Anelis adalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang memiliki darah campuran Indonesia Islandia. Ia memiliki senyuman yang sangat manis, bola mata coklat terang, lambut coklat pirang yang lebat, serta postur tumbuh yang lebih tinggi dari anak-anak sesusianya. Anelis adalah sosok yang periang, ramah dan selalu menuruti perkataan ibunya. Namun dibalik itu semua, Anelis mempunyai kesedihan dan rasa penasaran akan sosok ayahnya yang sudah berpulang sejak Anelis masih dalam kandungan ibunya.
Suatu hari, Anelis bertanya pada ibunya.
“Bu, jika ayahku masih ada apakah kita akan jalan-jalan bersama seperti keluarga lainnya?” tanya Anelis dengan tatapan penuh harap.
“Anelis sayang, meskipun ayah tidak ada disini, kita tetap masih bisa jalan-jalan nak, memangnya Anelis mau pergi kemana?” tanya ibu penuh kasih sayang.
Anelis terdiam sejenak, raut wajahnya menunjukan kesedihan karena tahu ia tidak akan pernah merasakan apa yang orang lain rasakan. Pergi dengan keluarga yang lengkap, merasakan kasih sayang seorang ayah atau mendapat kejutan ulang tahun dari sang ayah.
“Ibu, aku ingin jalan-jalan ke tempat ayahku. Ibu tahu tidak rumah ayah dimana?” tanya Anelis penasaran
“Hmm … tentu ibu tau sayang, rumah ayah jauh sekali Anelis harus naik pesawat kesana”.
“Hah, naik pesawat? Memangnya rumah ayah dimana ibu?”
“Rumah ayah ada di Islandia, Anelis tau tidak kalau mau ke Islandia itu lama … sekali. Anelis pasti kelelahan di jalan”
“Islandia itu apa ibu …, tidak apa ibu ayo ke Islandia”.
“Islandia itu negara, Nak, tentu ibu juga ingin mengajak Anelis kesana, Islandia indah sekali seperti negeri dongeng”.
Mendengar jawaban sang ibu, mata Anelis berbinar jiwanya seakan terpanggil untuk mencari tahu Islandia yang disebutkan ibunya itu. Ia berlari ke kamarnya, segera membuka ipad dan mulai mencari tahu tentang Islandia.
Anelis mulai mengetik kata Islandia sampai akhirnya pencarian itu muncul dan menampilkan beberapa foto pemandangan yang ada disana. Anelis semakin terpana melihat keindahan negara bersalju itu dan dengan semangat ia menunjukan foto-foto tersebut pada ibunya.
“Ibu … ibu lihat aku mencari Islandia, indah sekali ibu seperti negeri dongeng, ayo ibu ajak aku kesana ibu”. Anelis merengek tak sabar sambil memegang tangan ibunya.
“Sayang tahu tidak, untuk pergi kesana kita butuh uang yang banyak sekali, kita tidak bisa pergi kesana saat ini, doakan ibu ya nanti ibu bawa kamu kesana”, tatapan sang ibu sedih sambil mengusap kepala anak semata wayangnya.
Mendengar ucapan ibunya, tentu Anelis merasa sedih, ia tidak tahu kapan keinginannya bisa terwujud. Untuk menghilangkan rasa sedihnya, Anelis memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan tertidur. Saat itu waktu menunjukkan pukul 20.00, dan sebelum tertidur Anelis mengucapkan apa yang menjadi harapannya.
“Tuhan, aku tidak bisa melihat ayahku lagi, tapi Tuhan, aku ingin sekali pergi ke tempat ayahku, bawa aku kesana Tuhan”. Anelis kemudian tertidur dengan tangan yang masih menengadah, seolah mempertegas doa dan keinginannya.
“Tring … Tring … Tring .…”
“Tring … Tring … Tring ….”
Suara itu membangunkan Anelis dari tidurnya, ia mencoba membuka mata, dan betapa terkejutnya Anelis ketika melihat secercah cahaya putih mengelilingi dirinya.
“A … apa itu?” tanya Anelis dengan suara yang parau.
Cahaya kerlip putih itu perlahan memudar dan berubah menjadi seorang lelaki berbadan tegap, rambut coklat terang dan mata yang persis seperti mata Anelis. Tatapan mata laki-laki itu menatap Anelis penuh kasih, seolah menunjukan kasih sayang dan kerinduan mendalam.
“Halo Anelis, namaku Jon. Apakah kamu mengenalku? Kita punya warna mata yang sama bukan?” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
Anelis terdiam keheranan, anehnya ia tidak merasa takut saat itu. Ia justru penasaran dan mendekati laki- laki berbadan tegap itu.
“Jon, itu nama ayahku, kau ayahku?”
Laki-laki itu hanya tersenyum tipis sambil mengangguk menandakan kebeneran.
“Ayah … kau ayahku … yeee yeee aku bertemu ayah ….” dengan girang Anelis menarik tangan lelaki itu dan mengajak berputar sambil melompat.
“Tapi …, ibu bilang ayahku sudah tidak ada, tapi kau ada disini sekarang?” tanya Anelis keheranan
“Ayah ada disini, dan malam ini ayah akan mengajakmu ke suatu tempat, kau mau ikut dengan ayah?”
“Apa kau akan mengajakku ke Islandia?”
“Tentu putriku yang manis, kau mau lihat Islandia bersamaku?”
“Mau ayah ayo pergi sekarang juga, aku akan bangunkan ibu”
“Tidak nak, nanti ibu akan menyusul sekarang kita pergi berdua dulu yah. Pejamkan matamu nak” ucapnya sambil menutup mata Anelis.
Anelis memejamkan matanya dan seketika, ia merasa dirinya pergi dengan begitu cepat.
“Sayangku, sekarang bukalah matamu” Jon membuka mata Anelis perlahan.
Saat Anelis membuka matanya, ia sangat terkejut karena ia berada di sebuah tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Bangunan dan suasananya begitu asing bagi Anelis. Orang-orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, rumah-rumah disana juga terlihat sangat asing bagi Anelis. Namun satu hal yang pasti, Anelis terpesona dengan keindahan tempat ini, bunga dan rerumputan ada di setiap sudut kota.
“Ayah aku dimana? Apakah aku di Islandia? Yeayyy … indah sekali ayah hihihi ….” Anelis tak henti tertawa bahagia.
“Iya nak, ini Islandia. Ayah akan mengajakmu pergi ke tempat terindah disini.”
Perjalanan pertamanya di mulai dengan berhenti di sebuah toko mantel. Ia menarik ayahnya masuk ke toko itu untuk membelikan sebuah jaket berwarna putih dengan bulu-bulu berwarna coklat tua.
“Ayah aku ingin jaket itu, ibu tidak pernah membelikan jaket seperti itu” ajakan Anelis pada ayahnya.
Anelis juga membeli sepasang sepatu boot, sarung tangan, dan syal yang senada. Ia benar-benar ingin merasakan menjadi orang Islandia yang kedinginan.
Selanjutnya, Jon mengajak Anelis ke sebuah tempat yang penuh salju. Disana Jon dan Anelis tertawa bersama, saling melempar salju, membuat snowman dan menaiki papan seluncur.
“Aaaaa … aku takut ayah, tapi ini seru sekali aaaa .…” Anelis berteriak dengan histeris.
“Tidak apa nak, ayah disampingmu, nikmati saja perjalanan ini” ucap Jon meyakinkan Anelis.
Selanjutnya, Jon mengajak Anelis untuk memancing di danau yang sangat indah. Mereka membakar ikan pancingan sambil berbincang dan tertawa melepas kerinduan.
“Emm … enak sekali masakanmu ayah, andai saja kau bisa bawakan aku bekal ke sekolah,” ucap Anelis sambil melahap ikan masakan ayahnya.
Jon hanya terdiam, ia tidak bisa menjawab apapun selain dengan senyuman. Ia tau ia tidak bisa berkata iya dan menjanjikan sesuatu yang mustahil pada putri kecilnya itu. Anelis benar-benar terlihat sangat bahagia, akhirnya ia bisa merasakan kehangatan pelukan seorang ayah, walaupun ia tidak tahu bahwa momen ini juga akan menjadi yang terakhir kalinya dalam hidupnya.
Tak cukup sampai disitu, Jon mengajak Anelis kecil mengelilingi kota, membelikan berbagai makanan yang tidak pernah ia coba sebelumnya. Jon menyuapi putri kecilnya itu sambil sesekali menetapnya dengan haru. Ia sadar ini adalah kali pertama dan terakhir baginya dan Anelis. Maka dari itu, ia ingin menikmati dan memberikan semua yang Anelis inginkan darinya.
“Ayah aku ingin bunga itu!” ucap Anelis sambil menunjuk pedagang bunga di sebrang jalan.
“Baik putri kecilku, tunggu sebentar ayah akan bawakan bunga tercantik untukmu!” Jon bergegas menghampiri penjual bunga di seberang jalan.
Anelis tertawa bahagia mendengar ucapan ayahnya itu. Dalam hati kecilnya, ada rasa penasaran apakah ayahnya akan ikut bersamanya ke rumah ibu, apakah mulai besok ayahnya akan mengantarnya sekolah, merayakan ulang tahunnya, atau sekedar mencium pipinya.
“Ini dia, bunga paling cantik untuk putri ayah yang cantik” Jon membawa beberapa jenis bunga untuk putri kesayangannya.
“Wah cantik sekali ayah, terimakasih,” ucap Anelis dengan senyuman yang tak henti merekah di pipinya.
Perjalanan masih berlanjut, kali ini Jon membawa Anelis ke sebuah pameran. Jon benar-benar ingin melakukan banyak hal bersama putrinya.
“Ahahahaha … halo ayah!”
Anelis tertawa riang sambil menaiki carousel yang berputar. Senyumnya tak pernah hilang sejak kedatangannya. Rasa bersalah semakin menyeruak di hati Jon. Ia menahan air mata yang hampir jatuh, ia tidak mau hari yang indah ini hancur karena kesedihannya, Anelis tidak boleh melihatnya menangis.
Anelis yang kelelahan duduk di bangku panjang sambil memakan sebuah ice cream. Sesekali ia membagi makanannya pada Jon, “emm … enak sekali, apakah ice cream disini dibuat dari salju ayah?” tanya Anelis sambil menunjukan ice creamya.
Mendengar itu, Jon tertawa terbahak-bahak. Ia membayangkan jika dirinya masih ada, akan berapa banyak kalimat lucu yang akan ia dengar dari putri kecilnya itu setiap harinya. Jon hanya menatap Anelis sambil terus mengusap pipi dan kepala Anelis.
Anelis, perjalanan kita selanjutnya adalah perjalanan terakhir hari ini,” ucap lelaki itu sambil menatap gadis kecil disebelahnya.
“Kenapa? aku suka disini aku ingin disini bersamamu, kau tidak pernah menemuiku ayah, kau tidak menyukaiku ya …, Aku tidak pernah dipangku seperti anak lainnya, tidak pernah diantar jemput ke sekolah, tidak pernah merayakan ulang tahun bersama.” ucap Anelis sambil menggerutu menahan tangisannya.
“Nak, maafkan ayah, ayah tidak bisa melihatmu tumbuh, tidak pernah mengusap kepalamu, atau mencium pipi manismu. Namun ayah berjanji selalu menjagamu dari atas langit, setiap kali kau rindu ayah pejamkan matamu, lihatlah ke atas langit nak. Setiap kali kau menatap langit dan cahayanya menjadi hijau, disitulah ayah melihatmu,” Jon menjawab pertanyaan putrinya sambil menahan air mata.
Keduanya menangis begitu kencang, menyadari bahwa momen ini mungkin tidak akan pernah terjadi lagi.
“Anelis sayang, sekarang lihatlah ke atas langit nak” ucap Jon sambil menunjuk langit.
Anelis terkejut karena seketika ia ada di sebuah tempat yang luas. Ia tidak lagi memegang ice cream yang ia makan. Namun, Anelis kembali terkagum pada apa yang ia lihat di langit. Saat langit begitu gelap, cahaya berwarna warni mulai bermunculan. Ia adalah aurora, cahaya berwarna warni yang muncul di atas langit, yang hanya bisa dilihat di beberapa tempat saja, salah satunya Islandia.
“Anelis, ingat apa yang ayah ucapkan ? jika kau merindukan ayah maka tataplah langit, jika di pandanganmu langit itu berubah warna, maka ayah ada di dekatmu.” ucap Jon sambil memeluk erat tubuh Anelis.
“Iya ayah, aku akan selalu menatap langit untuk melihatmu.”
“Nak, simpanlah batu putih ini dan sekarang pejamkan matamu” Jon kembali menutup mata Anelis sambil menyelipkaj sebuah batu kecil di tangan anaknya.
Anelis kemudian memejamkan matanya. Dan setelah itu, ia secara tiba-tiba kembali berada di kamarnya. Waktu mununjukkan pukul 07.00 pagi. Anelis masih mencerna apa yang baru saja terjadi, rasanya seperti mimpi yang sangat nyata, ia bahkan masih mencium aroma tubuh ayahnya.
Anelis melihat sekelilingnya, untuk memastikan ia sedang tidak bermimpi. Saat tangannya meraba boneka di atas kasurnya, ia menyentuh sesuatu yang kecil dan keras. Dan ya, sebuah batu kecil putih seperti apa yang ayahnya berikan semalam.
“Batu ini ada di kamarku, aku ini bermimpi? Ibu .…”
teriak Anelis sambil berlari ke arah kamar ibunya.
“Kenapa nak?” tanya sang ibu cemas.
“Ibu semalam aku ke Islandia bersama ayah, lihat ibu, ayah memberiku batu ini.”
“Apa maksudmu sayang, semalam kau tertidur pulas di kamarmu, mana mungkin malam ke Islandia paginya sudah disini lagi hahaha ….” ucap sang ibu sambil tertawa melihat tingkah anaknya.
Walaupun sang ibu tidak memercayainya, Anelis percaya apa yang ia alami semalam bukan sekedar mimpi biasa. Ia yakin ayahnya benar-benar mengajaknya ke Islandia.
“Ayah, terimakasih untuk semalam, nanti main lagi ya ayah, Anelis sayang ayah.”
Sejak saat itu, Anelis selalu membawa batu putih kecil itu kemanapun ia pergi, ia selalu menatap langit dan membayangkan cahaya berwarna warni bermunculan. Setiap kali ia melakukan itu, ia selalu berucap, “ayah, aku rindu, aku ingin melihatmu.”
Senyum Anelis merekah, dalam bayangannya, langit menjadi gelap dan cahaya berwarna warni mulai bermunculan. Dengan itu, Anelis kecil meyakini, ayahnya selalu ada disampingnya, walaupun tak lagi bisa melihatnya.