Pengalaman ini saya dapatkan saat berada di angkutan umum Sabtu (25 Februari 2023) lalu. Dimana tiga orang preman menggerutu saat tidak dikasih sedekah.
Sepanjang jalan Cinunuk menuju Cileunyi padat merayap. Perkiraan saya, itu adalah imbas dari kegiatan wisuda di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setertib apapun, prosesi wisuda selalu menyedot banyak orang sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Kejadian pertama, naiklah dua orang preman bergaya anak punk. Satu orang duduk di bangku dekat pintu memberikan ceramah. Anak muda bertato di lengan kiri kanan, rambut berwarna kuning menyala itu memberikan ceramah kepada para penumpang angkot.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Mohon maaf mengganggu waktunya ya, Kakak. Kami di sini bukan mau nyolong atau melakukan kejahatan ya, Kakak. Kami di sini hanya ingin meminta sedikit rejekinya ya, Kaka.”
Sementara yang satunya lagi menyayikan sebuah lagu sambil tepuk tangan tanpa alat musik. Lirik lagunya tidak begitu saya simak. Suaranya sumbang, tidak enak didengar.
Sang penceramah menyodorkan topi meminta sedekah sambil terus berpidato.
“Sedekahnya, Kakak. Harta tidak akan dibawa mati, Kakak. Seribu dua ribunya barangkali,” katanya.
Namun ada yang membuat saya merenung dan sedikit keras berpikir. Ketika dia mengatakan bahwa kriminalitas yang terjadi itu diakibatkan karena orang-orang tidak memberikan sedekah kepada orang sepertinya. Dalam benak, saya malah berpikir, sesungguhnya mereka sedang melakukan pengakuan bahwa selama ini penjambretan, maling, dan tindakan lain adalah tindakan kelompok mereka.
Seketika jadi ingat pada obrolan dengan adik sepupu malam sebelumnya.
“Televisinya kok ganti?” tanya saya yang merasa heran, melihat televisi di ruang keluarga ukurannya lebih kecil.
“Eh, Teteh belum tahu ya? Kan diambil maling,” jawabnya.
“Maling lagi?” tanyaku heran. Sebab baru saja dua atau tiga bulan lalu di rumah sepupu kehilangan 3 unit HP dan sebuah laptop digondol maling.
Mendengar ceramah preman yang lebih tepat disebut ocehan menurut saya, enam orang yang duduk di angkot, termasuk saya tidak ada yang memberikan uangnya pada mereka. Semua menolak dengan memberikan kode, tangan menghadap preman.
Lalu, “terima kasih Alhamdulillah. Kami doakan semoga semuanya mengalami kecelakaan. Orang pelit rejekinya sulit. Padahal harta tidak akan dibawa mati,” gerutu preman seraya turun dari angkot.
Dalam hati saya pun menggerutu, badan sehat begitu, kenapa tidak cari kerja yang bener. Usaha apa kek, malah enak saja minta-minta. Udah dandanan begitu, lisannya gak enak didengar, siapa juga yang mau bersedekah? Sedekah itu diberikan dengan hati rela kepada orang yang memang layak dibantu. Bukan kepadamu yang lancang seperti itu.
Tidak lama kemudian, di sekitaran jalan yang menuju ke SMP 1 Cileunyi, naik kembali satu orang. Rambutnya berwarna ungu lilac. Rompinya dibiarkan terbuka. Celananya bolong, tatonya banyak juga. Sekilas tercium bau badan yang belum mandi beberapa hari lamanya.
Ah, menyebalkan. Lagi-lagi yang seperti ini.
Seperti yang sebelumnya, ia pun mengamen tanpa alat. Modal topi dan ceramah kepada pada penumpang. Kalimatnya hampir sama dengan yang dua orang pertama.
Namun ada yang membuat kami semua melepaskan gelak tawa sesaat setelah dia turun. Yaitu gayanya yang bak seorang emak-emak memaki orang yang pelit.
“Iih… Amit-amit ya Allah…. Kabeh oge bararengkeng. Ih, gusti ya Allah (amit-amit ya Allah… Semuanya juga pelit. Ih, gusti ya Allah),” ucapnya sambil bergidik beberapa kali. Lalu turun dari angkot.
Semua penumpang tidak bisa lagi menahan tawa. Sesaat setelah preman itu pergi, kami tertawa lepas bersama, “ha ha ha.”
Terlebih ketika bapak supir berkomentar, “tong dibere nu kitu mah teman! Memangna gampang siga kitu ngala duit teh? (jangan dikasih orang kayak begitu, nanti keenakan! Memangnya segampang itu nyari uang?)”
Salah satu penumpang perempuan masih muda yang duduk bersama anaknya menyahuti, “iya ya, Pa. Kita mah susah payah kerja nyari uang. Mereka dengan gampang minta-minta!”
Mendekati pintu tol Cileunyi, lalu lintas lebih lancar, karena memang jalan menjadi satu jalur. Jalan bercabang di Cikalang sudah membagi lalu lintas menjadi masing-masing satu arah.
Sampai saya turun, gaya preman yang menyerupai emak-emak pun tidak jua hilang dari ingatan.
Jauh dari kesan seram, konyol dan lebih mirip dengan emak-emak.
Semoga daerah Cileunyi segera terbebas dari premanisme dan kriminalitas. Para punk dan anak jalanan berubah karakter menjadi para pemuda yang lebih beradab dan mau bekerja keras, bukan hanya minta-minta. Aamiin ya rabbal alamiin.
+ There are no comments
Add yours