Sebelumnya Akmal tidak pernah membayangkan jika dirinya akan mendapatkan julukan kiai dari semua warga yang ada di desanya.
Seingatnya ia hanya disuruh masuk pesantren, sejak lulus Sekolah Dasar oleh ayah angkatnya yang dia panggil Mama.
Mama memang seorang tokoh masyarakat. Seorang saudagar kaya yang memiliki banyak harta. Bukan hanya memiliki banyak usaha warung kelontong, Mama juga memiliki pesantren yang didirikan keluarganya. Nyai Aminah ibu angkat Akmal sendiri yang menjadi pengelolanya.
“Pergilah ke pesantren di Jawa sana, lalu kembali membawa ilmu untuk kau amalkan di pesantren Mama ini, Akmal!” perintah Mama pada Akmal belasan tahun yang lalu. Nyai pun menyetujui perintah itu.
Akmal yang sejak kecil dibesarkan di keluarga pesantren tidak tahu menahu siapa orangtua kandungnya. Yang ia tahu, Mama dan Nyai sangat menyayangi dirinya, membesarkan dengan tulus, mendidik dan menyayangi sampai ia dewasa kini.
Belasan tahun Akmal menempuh pendidikan. Ia pun kini menjelma menjadi seorang yang dipanggil kiai karena mendapatkan tugas mengajar para santri di pesantren milik Mama. Meskipun sama sekali tidak seiring sejalan dengan hati nuraninya. Namun nyatanya ia cukup kharismatik sehingga menurut para santri dan orang-orang di sekelilingnya pantas dipanggil kiai.
Mengajar tentu saja ia tidak keberatan. Namun untuk mendapatkan julukan kiai dan memenuhi panggilan dakwah di mana-mana itu bukan keinginannya. Jujur, ia hanya ingin menjadi lelaki muslim biasa.
Bagi Akmal, menuntut ilmu agama adalah kewajiban bagi semua orang untuk memperkaya khazanah keislaman dan memenuhi keinginan Mama dan Nyai tentunya.
Selain itu, Akmal juga memiliki pembelaan, bahwa yang ia pelajari berfokus pada ilmu membaca Alquran hingga ia pernah meraih juara tingkat nasional dan internasional. Ya, ia bukan Kiai.
Kini Akmal sudah berusia 25 tahun. Untuk hitungan usia, ia sudah tidak muda lagi. Sudah memenuhi sunnah rasul untuk menjadi seorang imam dalam keluarga. Namun untuk dipanggil sebagai kiai, menjadi beban tersendiri baginya. Bukan karena terlalu muda. Sekali lagi, ia tidak mengindahkannya.
“Akang kan paling berilmu di antara anak Mama yang lainnya, Kang!” ujar Karim santri paling lama di pesantren milik Mama.
Senasib dengan Akmal, Karim pun tidak memiliki sanak saudara. Akhirnya ia memilih terus tinggal di pesantren, mengabdikan diri dengan bantu-bantu pekerjaan di pondok.
“Belum lagi, setelah pulang dari pesantren di Jawa Timur itu, Akang jadi banyak sekali ilmunya. Sudah selayaknya Akang menjadi pengajar di sini. Layak sekali dijuluki kiai. Tidak seperti saya, yang hanya bertugas sebagai tukang kebun, kadang-kadang bantu-bantu di dapur umum, Kang,” lanjut Karim.
“Bukan itu,” sangkal Akmal. Pikirannya melayang entah kemana. Perasaannya kacau balau.
“Apa lagi?” tanya Karim bingung.
“Rim, menjadi kiai atau ustadz, adalah seorang yang memiliki tanggung jawab keilmuan yang besar. Beban moral yang sangat berat. Harus menjadi teladan dan panutan orang lain. Baik dari sikap, cara saya beribadah, semangat saya dalam berbuat kebaikan, serta sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain tetapi harus terus dilakukan,” ujar Akmal seraya menghela napas panjang.
Karim yang sejak tadi menyimak setiap perkataan teman seperguruanya itu, sejenak mengernyitkan dahi.
“Apa yang tidak bisa dilihat tetapi harus tetap dilakukan, Kang?” tanya Karim.
“Ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Taala, Karim. Banyak orang yang dilabeli kiai, ustadz, atau apapun yang masih belum sepenuhnya melakukan itu,” ujar Akmal.
“Akang melihat kiai yang tidak taat?” tanya Karim penuh rasa penasaran.
“Ada,” jawab Akmal singkat.
Pikirannya lalu melayang membayangkan kejadian tempo lalu. Ketika ia hendak pulang ke tatar Sunda dari tempatnya mengenyam ilmu agama.
**
Di perjalanan, ia singgah di sebuah masjid untuk solat asar. Tidak sengaja ia mendapati dua orang perempuan yang duduk di pojok teras masjid. Salah satunya menangis sesenggukan, satu yang lainnya mencoba menenangkan temannya tersebut.
Dengan canggung Akmal memberanikan diri untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Maaf, jika boleh tahu, temannya kenapa ya? Sampai nangis begitu?” tanya Akmal dengan sangat hati-hati.
Kedua gadis itu terperangah, kaget dengan kedatangan Akmal tiba-tiba.
“Jangan takut, saya Akmal. Saya tidak berniat jahat,” jawab Akmal seraya mundur satu dua langkah.
“Teman saya, mengalami pelecehan, Akhi,” jawab salah satu gadis. Diikuti reaksi gadis yang sedang menangi, dengan isak tangis makin menjadi.
“Subhanallah. Awfan, kalau membuat ukhti tambah sedih. Siapakah pelakunya? Barangkali saya bisa bantu mencarinya agar ia bertanggung jawab atas perilakunya!” tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja.
Gadis yang sedang menangis tiba-tiba mengangkat wajahnya. Menyeka bulir air dari matanya yang sudah sembab akibat menangis terlalu lama.
Matanya begitu indah, pipinya yang merah merona membuat jantung Akmal berdebar tidak karuan.
“Tidak perlu diburu, dia tidak akan bisa dilawan. Dia adalah kiai kami yang sudah tega berbuat nista pada santrinya!” ucapnya penuh kebencian.
Akmal menghela napas panjang. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Kenapa tidak bisa dilawan? Ini hak ukhti. Bukankah kita diwajibkan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan? Harus berani menghentikan perbuatan keji dan mungkar?” ucap Akmal berapi-api.
“Kami tidak berdaya, Akhi! Ucap gadis itu.
“Kami?”
“Iya, Murni hampir mengalami pelecehan, karena keburu teriak dan lari ke masjid ini. Saya melihatnya, dan ikut berteriak. Sehingga pak kiai mungkin malu dan menghentikan tindakannya. Sementara teman-teman kami ada yang sering menjadi korban tanpa bisa melakukan perlawanan,” ujar teman Murni.
“Hampir? Jadi neng Murni tidak sampai diapa-apain kan?” tanya Akmal penasaran.
Murni menggeleng, “Alhamdulillah tidak. Karena Ayu keburu datang. Namun secara verbal sudah membuat saya jijik dan sangat ketakutan, Akhi!” jawab Murni yang masih sesenggukan.
“Alhamdulillah… Syukurlah,” ucap Akmal dengan penuh rasa syukur.
**
Akmal sudah kembali ke pesantren Mama. Ia sendiri tidak siap untuk mendapatkan julukan kiai. Bayangan mata indah Murni yang begitu indah telah berhasil mengganggu konsentrasinya setiap melakukan apapun tidak terkecuali ketika ia sedang salat menghadap Allah.
“Hai, melamun ya, Kang!” suara Karim mengagetkan.
“I, iya, kenapa, Rim?” tanya Akmal terperanjat.
“Kiai yang tidak bertanggung jawab itu kan hanya segelintir orang saja ya kan, Kang? Sepenilaian dan sepengetahuanku, Mama tetap jadi kiai yang mampu menjadi panutan,” ujar Karim.
“Aku sepakat. Mama memang hebat. Selain taat, ia pun setia kepada Nyai. Aku sendiri apakah nanti bisa setia pada Murni?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Akmal.
“Murni?” Karim mengernyitkan dahi.
“Hah?”
“Ha ha ha. Rupanya aku tahu kenapa Kang Akmal belum siap menjadi kiai…,” ledek Karim.
“Apa?” tanya Akmal antara kesal dan malu.
“Kang Akmal sedang dimabuk asmara. Sehingga merasa belum bisa bertakwa kepada Allah karena separuh agamamu belum membuatmu utuh, Kang. Ayo menikahlah, Kang. Apa harus aku melapor kepada Mama agar akang segera diantar ke rumah orangtuanya Murni?” canda Karim penuh gelak tawa.
Tanpa disadari, Mama dan Nyai sudah ada di antara mereka.
“Mama dan Nyai menyimak,” ujar Mama.
Akmal tidak bisa berkutik. Seketika pipinya memerah terasa panas.
“Allah memerintahkan lelaki yang sudah mampu untuk menikah, Akmal. Maafkan Mama tidak paham apa yang kamu inginkan. Mama kira kamu yang akan bilang sendiri kepada Mama untuk minta diantar untuk meminang seseorang,” kata Mama.
“Saya sungkan, Mama. Khawatir merepotkan Mama. Sementara saya belum merasa mapan untuk menghidupi Murni. Saya hanya bisa berpuasa, sambil berdoa kepada Allah semoga Allah mudahkan niat saya ini,” jawab Akmal tertunduk.
“Karim, siapkan mobil dan beri tahu beberapa santri. Kita pergi ke tempat Haji Sahlan di Sukabumi!” perintah Mama pada Karim.
“Haji Sahlan? Dari manakah gerangan, Mama tahu bahwa …?” tanya Akmal penuh heran.
Sebenarnya haji Sahlan pernah datang ke sini. Memintamu pada Mama. Namun Mama belum sempat bicara denganmu, Akmal.
Antara debaran kebahagiaan dan rasa malu bercampur aduk di dalam hati Akmal. Ternyata Allah telah menjawab semua doa-doanya.
“Murni, Akang datang,” bisiknya lirih.
Karim datang kembali setengah berlari, “berapa orang santri yang akan diajak, Mama?”
Mama menjawab dengan isyarat jari, dijawab anggukan patuh Karim sambil berlalu pergi.
“Mama …,” ucap Akmal penuh ragu.
“Katakan saja!” perintah Mama.
“Jika boleh saya minta. Saya tidak ingin dipanggil kiai, Mama. Semoga Mama dan Nyai tidak keberatan dengan ini.
Mama dan Nyai saling pandang. Kemudian mereka tersenyum membuat Akmal merasa tenang.
“Berat ya?” tanya Mama.
“Betul, Mama. Saya tidak sanggup. Biarlah saya menjadi orang biasa tanpa panggilan apapun yang menjadi embel-embel nama saya. Saya ingin hidup tenang tanpa beban. Biarlah saya beribadah dengan kemampuan dan keihklasan saya sendiri bukan karena ada panggilan kiai pada nama saya. Saya khawatir, Mama, Nyai,” papar Akmal jujur.
“Kami paham. Prinsipmu bagus, anakku. Jangan sampai gelar yang menempel pada kita menjadikan kita menjadi memiliki sifat riya. Karena riya termasuk kepada syirik asgar. Allah tidak menyukainya. Tetaplah jadi diri sendiri dengan sebaik-baiknya takwa. Mama tidak akan memaksa,” tegas Mama.
“Alhamdulillah, jadi saya tidak diberi tugas mengajar di pesantren kan, Mama?” tanya Akmal penuh semangat.
“Nanti lagi kita urus itu. Sekarang ayo bersiap! Haji Sahlan dan putrinya sudah menunggu!” ujar Nyai.
Akmal mengangguk patuh. Hatinya berbunga-bunga penuh rasa bahagia.
This article opened my eyes, I can feel your mood, your thoughts, it seems very wonderful. I hope to see more articles like this. thanks for sharing.