Ketika Istri Berkontribusi Secara Finansial, Haruskah Tetap Mengurus Rumah?

Estimated read time 4 min read
Share This:
See also  Mendambakan [Anak] Perempuan

istri
ilustrasi dibuat oleh Ai

“Ketika Istri Berkontribusi Secara Finansial, Haruskah Tetap Mengurus Rumah?” Atau sebaliknya”Bisakah Istri Hanya Fokus Mengurus Rumah Tanpa Berkontribusi Secara Finansial?”

Pertanyaan ini seolah menjadi tamparan bagi realitas masa kini. Di tengah gempuran kebutuhan hidup yang semakin mahal, memposisikan seorang istri hanya sebagai pengurus rumah tangga tanpa kontribusi finansial tampaknya kian sulit. Biaya hidup yang terus meningkat, ditambah dengan fakta bahwa UMP (Upah Minimum Provinsi) Indonesia termasuk urutan keenam yang terendah di dunia, menjadikan skenario ini hampir mustahil bagi mayoritas keluarga Indonesia yang memiliki penghasilan mengacu pada UMP.

Realitas Ekonomi dan Perubahan Peran
Hidup di tengah tekanan finansial membuat banyak keluarga Indonesia bergantung pada dua sumber penghasilan. UMP yang rendah seringkali hanya cukup untuk kebutuhan dasar seperti makan, transportasi, dan pendidikan anak. Dengan kondisi ini, tidak mengherankan jika banyak istri yang merasa perlu ikut membantu ekonomi keluarga. Walaupun secara norma tradisional pemenuhan finansial bukan kewajiban istri, tetapi pada kenyataannya, kontribusi finansial dari seorang istri sering kali menjadi penyelamat keluarga dari kesulitan ekonomi.

Namun, ketika seorang istri memutuskan untuk bekerja, muncul tantangan lain: ekspektasi terhadap peran ganda yang sering kali tidak seimbang. Selain bekerja, istri tetap diharapkan mengurus semua pekerjaan rumah tangga—mulai dari memasak, membersihkan rumah, hingga mengurus anak—tanpa dukungan berarti dari suami atau anggota keluarga lainnya.

Dukungan Suami dan Pembagian Peran yang Setara

Penting untuk disadari bahwa istri bukanlah robot yang bisa bekerja tanpa batas. Mereka juga manusia yang lelah, yang butuh istirahat, dan yang memiliki kapasitas mental terbatas. Jika seorang istri turut berkontribusi secara finansial, maka logis jika tanggung jawab operasional rumah tangga dibagi secara adil dengan suami. Sayangnya, di banyak rumah tangga, beban kerja domestik masih dianggap sebagai tanggung jawab penuh istri. Hal ini sering kali berakar pada budaya patriarki yang mengakar kuat, di mana laki-laki merasa bahwa kerja di luar rumah sudah cukup untuk menghindarkan mereka dari tanggung jawab domestik. Padahal, dalam situasi di mana istri juga bekerja, pandangan semacam ini tidak lagi relevan. Kerja sama yang baik antara suami dan istri menjadi kunci untuk menciptakan pernikahan yang sehat dan harmonis.

Pembagian peran yang setara bukan berarti suami harus memikul semua pekerjaan rumah, tetapi ada koordinasi yang adil. Misalnya, suami dapat membantu membersihkan rumah, mengurus anak, atau memasak, sementara istri juga menyeimbangkan antara pekerjaan kantor dan tugas rumah tangga. Dengan pembagian ini, tidak ada pihak yang merasa terbebani secara berlebihan, sehingga kesehatan fisik dan mental masing-masing tetap terjaga.

See also  Banyak Perempuan Menjadi Korban Penipuan dan Kekerasan, Waspadai Lelaki dengan Sikap Seperti Ini

Mengubah Perspektif tentang Peran Gender

Salah satu langkah penting adalah mengubah pola pikir tentang peran gender dalam rumah tangga. Pekerjaan rumah tidak seharusnya hanya menjadi tanggung jawab istri. Suami yang ikut aktif dalam tugas rumah tangga tidak hanya menunjukkan rasa hormat kepada pasangannya, tetapi juga menciptakan lingkungan keluarga yang lebih setara dan suportif.

Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan pembagian peran yang setara juga cenderung memiliki pandangan yang lebih terbuka tentang gender. Mereka belajar bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun dan menjaga keharmonisan keluarga.

Komunikasi sebagai Kunci Harmoni

Hal lain yang tidak kalah penting adalah komunikasi. Pasangan suami-istri harus secara terbuka mendiskusikan harapan, batasan, dan kebutuhan masing-masing. Jika istri merasa terlalu lelah dengan beban kerja ganda, hal ini harus disampaikan kepada suami. Begitu juga sebaliknya, jika suami merasa pekerjaannya terlalu berat, maka pasangan harus mencari solusi bersama. Diskusi semacam ini bukan hanya soal mencari siapa yang harus melakukan apa, tetapi juga membangun empati. Dengan saling memahami beban dan tanggung jawab masing-masing, pasangan dapat menciptakan harmoni dalam pernikahan.

“Jadi, bisakah istri saat ini hanya fokus mengurus rumah? Jawabannya sangat bergantung pada kondisi dan kesepakatan masing-masing pasangan. Namun, dalam konteks realitas ekonomi saat ini, di mana kebutuhan hidup kian mahal dan penghasilan sering kali tidak mencukupi, istri sering kali perlu turut serta dalam mencari nafkah. Kontribusi finansial istri bukanlah bentuk pelanggaran terhadap norma, melainkan bukti dari semangat kerja sama dalam keluarga.”

Yang perlu diingat adalah, kontribusi ini harus diimbangi dengan pembagian peran yang adil dalam rumah tangga. Dukungan suami, koordinasi yang baik, dan komunikasi yang terbuka adalah kunci untuk memastikan kesejahteraan semua pihak dalam keluarga. Karena pada akhirnya, keluarga yang bahagia adalah keluarga yang saling mendukung, bekerja sama, dan memahami satu sama lain—bukan yang menempatkan beban berat pada satu pihak saja.

Artikel ini juga ditayangkan di kompasiana.com/erika37118 dengan Judul “Ketika Istri Berkontribusi Secara Finansial, Haruskah Tetap Mengurus Rumah?”

Share This:
ririe aiko

Seseorang yang sedang mencoba memberi banyak manfaat dengan karyanya

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours