Bukan lagi masalah orang ketiga, judi online kini menjadi masalah terbesar dalam rumah tangga. Seperti kisah Wandi pemuda desa yang memang gemar bergaul dan disukai banyak orang. Dia adalah tokoh pemuda desa, tapi entah apa yang membawa dirinya sejauh itu. Judi online telah menjeratnya hingga rumah tangganya tak lagi seindah dulu. Semoga memberi hikmah yang membuat ia lebih baik di masa depan.
Delapan tahun yang lalu, Wandi menikahi Lina. Gadis manis nan mungil lulusan sebuah SMA negeri yang waktu itu tengah bekerja menjadi pramuniaga di sebuah grosir pakaian Kota Bandung. Lina sangat bahagia karena bisa melanjutkan hidup dengan pria idamannya. Siapa sangka Wandi si pemuda desa yang terkenal sangat sopat terhadan wanita dan baik itu ternyata melamarnya menikahi Lina, berniat hidup bersama selamanya.
Lina sangat bahagia karena memang dia juga merasakan hal yang sama. Sejak SMA Lina mengagumi Wandi yang kala itu menjadi seniornya dalam beberapa ektrakulikuler yang ia ikuti. Lina pernah bekerja bersama Wandi di sebuah pabrik, mereka menjalin hubungan yang dekat hingga sekarang mereka telah menjadi suami isteri. Dalam perjalanan pernikahan, mereka dikaruniai satu orang anak bernama Nugraha. Anak laki-laki yang dinamai dengan sederhana tapi maknanya sangat dalam.
Belakangan ada sesuatu yang membuat Lina geram. Dia selalu naik darah ketika melihat wajah Wandi. Amarah yang memuncak akhir-akhir ini tidak jarang membuatnya menangis sejadi-jadinya. Lina hampir setiap hari memarahi suaminya, Wandi. Nyatanya Wandi hanya tertunduk dan tidak pernah menunjukkan respon apapun apalagi melawan pada istrinya.
Wandi memang laki-laki baik, saat dia bertengkar dengan istrinya pun dia sangat menjaga tutur katanya. Meski Lina mengeluarkan kata-kata yang mungkin sangat menyakiti hatinya bahkan tidak segan Lina sampai nekat mengajukan proses perceraian. Wandi bingung dengan dirinya sendiri, dia juga heran mengapa dirinya bisa seperti ini.
Wandi berusaha untuk tetap menjaga perasaan istrinya, tapi perempuan mana yang tahan kalau mereka dililit utang tiba-tiba dan ternyata uang itu bekas pinjaman modal judi online? Sama sekali tidak terbesit di pikiran Lina kalau dia bisa melalui hari-hari dengan inrimidasi dari pegawai bank, rentenir, dan lintah darat lainnya. Lina merasa dilecehkan sebagai istri, sedangkan selama ini istriya hanya tahu kalau Wandi memiliki kios dan bekerja sampingan sebagai ojek online.
Lina merasa kepercayaan yang dirinya bangun telah berbuah sia-sia pada akhirnya, berawal dari pinjaman tempo hari kepada strinya yang bilang bahwa, “boleh nggak Papah mau pinjam dulu uang? kalau lagi ada, dua juta ya, Ma. Buat gantiin duit setoran nih soalnya tadi kayaknya Papah kecopetan.”
Sontak Lina kaget waktu itu dan tak lagi berpikir panjang, ia mengirimkan sejumlah uang yang kebetulan dia punya. Lalu seminggu kedepannya lagi, Wandi mengabarkan kalaunya motor harus masuk bengkel rusak berkepanjangan sehingga butuh uang tiga juta. “Ma, kan motor modal nih buat Papah ngojek online, boleh pinjam dulu nggak? Perhiasan mama jual dulu ya, nanti kalau kita udah punya lagi papa janji kita beli yang lebih bagus lebih banyak.”
Waktu itu Lina percaya begitu saja, karena memang Wandi suaminya sangat baik dan tak pernah berbohong. Wandi dinilai sangat menjaga kepercayaan istrinya. Suatu hari Wandi mengatakan kalau bulan ini, Wandi minta dikirim uang untuk makan sehari-hari. “Kirim dulu nih sama Mama, nanti janji, kalau bulan depan Papah punya uang yang lebih Mama bakalan dikirim lebih juga.”
Lina mulai merasa ada yang janggal, kok bisa-bisanya pagi siang sore ambil orderan, sambil jaga warung tapi tidak bisa menutupi uang makan dia sehari-hari. Ia mulai berpikir, “kenapa ya? motornya udah bagus juga kan.” Lina masih ragu bercerita kepada orang tuanya, barangkali Wandi memang benar tengah mengalami kesulitan ekonomi.
Semua memang tidak terlihat jelas, karena Lina punya sampingan yang sebenarnya cukup untuk ia dan anaknya makan sehari-hari dengan berjualan online. Dia menjajakan aksesoris tas dan fashion wanita bahkan sering menjual ayam potong dan sayur secara dadakan. Lina memang pekerja keras dan menganggap kalau uang untuk hidup dengan anaknya dia bisa tutupi dengan jualan yang dia lakoni. Sedangkan uang hasil kerja Wandi dia kondisikan untuk tabungan masa depan karena anaknya masih kecil dan baru masuk TK tahun ini. Lina orangnya tidak nyaman hanya di rumah saja, jadi dia bilang ke Wandi juga kalau ingin punya kegiatan. Namun yang ia lakoni justru menjadi tempat berpegangan kedua setelah uang Wandi habis.
Wandi tega berbohong pada istrinya kalau dia berkali-kali kehabisan uang dan memperbaiki motor, ternyata dia pergunakan untuk judi online. Ketika Wandi di Bandung dan melakukan perbuatan bejat tersebut, di sisi lain Lina dengan sabar di kampung membayar utang ke rentenir dan bank. Membayar utang ke orang-orang yang Wandi pinjami, dan Lina masih percaya bahwa ya memang Wandi mengalami kesulitan ekonomi. Wandi tidak ingat keringat istrinya yang sudah kepayahan menggantikan banyak utangnya dengan dalih dagangan warung dan orderan online sedang sepi padahal Lina tidak tahu kalau warung sepi itu bukan karena takdir tapi karena Wandi menghabiskan modalnya saat itu.
Lina merasa jengah kenapa hanya saya yang mengusahakan membayar utang tapi sepertinya Wandi tidak berusaha. Suatu hari saat pulang ke kampung dia hanya terdiam sambil mengoperasikan ponsel di tangga rumah. Wandi pergi ke kamar mandi pun menggunakan ponselnya, “ampun ya ternyata ini yang kamu lakukan selama kita jauh? Kamu nggak kasihan sama aku dan anak kamu? jangan-jangan semua yang aku usahakan juga?”
Lina mengepalkan tangan lesu, saat mengetahui obrolan orang-orang tentang judi online benar adanya. “Kamu ternyata ngaku usaha bangkrut dan orderan sepi tiap hari, jangan-jangan buat ini ya?” cecar Lina pada Wandi tanpa jeda napas.
Namun Wandi mengelak, “enggak aku ini iseng-iseng aja,” jawabnya. Akan tetapi Lina terlanjur marah. “Terus sekarang kamu ke sini, di Bandung warung gimana?” Lanjutnya. Wandi terbata-bata menjawab, “ya nggak apa-apa, ada yang jaga kok. Tapi ya itu masih sepi.”
Padahal isi kepala Wandi sulit menjelaskan kalau apa yang ditanyakan istrinya ternyata tidak sejalan dengan apa yang ada di dalam otaknya. Pada kenyatannya warung hampir tutup karena semua modal yang dimiliki, dan semua yang dikirim oleh istrinya dari kampung habis semuanya. Hampir tak tersisa, hanya tinggal rukonya saja. Ketika suatu hari Lina mengeluh karena uang modal usahanya di kampung sudah habis untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dan Wandi terlihat tidak ingin berangkat lagi ke Bandung hampir satu bulan lamanya dia di rumah menganggur. Akhirnya Lina menegur Wandi, “Papah kenapa sih kok nggak mau berangkat lagi? kalaupun Warung masih sepi dan hampir tutup juga kan lumayan dari orderan online? Lumayan tuh sehari-hari buat makan kita, nggak apa-apa deh uang warung sama uang modal mamah kepake. Asalkan buat makan kita harus tetap jalan.”
Wandi sama sekali tidak bergeming, dan ternyata tanpa sepengetahuan istrinya, Wandi telah membicarakan ini semua kepada bapaknya. Sambil menatap Lina dalam, “Nanti saja, Ma, kalau bulan depan Papah belum dapat modal buat benerin warung, nanti kita pinjam uang bapak deh.” Setelah percakapan itu dua bulan berlalu, tapi kehidupan Lina dan keluarganya ditopang oleh bapak mertuanya, dan Wandi sama sekali tidak ingin berangkat lagi bekerja.
Dia sehari-hari murung terus dan tidak ingin keluar dari kamar, kehidupan Wandi seperti tertekan dan tidak ingin mengerjakan apapun. Jadwal makan pun tak karuan, “Papah kenapa sih kok kayaknya jadi berubah gini? Masa iya kehidupan kita harus terus bergantung sama bapak? Apa kita pinjam modal aja sama bapak?” ujar Linda membuat Wandi kaget setengah mati. Wandi bangkit dari duduknya dan terlihat panik, “Jangan, jangan, Ma. Ini juga alhamdulillah udah dikasih buat sehari-hari.”
Linda kebingungan atas sikap yang ditunjukan oleh suaminya itu, “Ayolah, Pah, cerita, kenapa sih? Papah sekarang kelihatannya berubah banget, nggak mau kerja, murung tiap hari, bengong tiap pagi, terus sekarang kita nggak punya modal. Apa nggak mau ngajak online lagi? masa iya kita gini terus, Pah?” desak Lina. Wandi sebenarnya berhati lembut, dan selama pernikahan dia nggak pernah nyusahin istrinya.
Akhirnya dia membuka suara setelah berbulan-bulan uang nafkah dia untuk istrinya terganggu. Sambil membuka ponselnya Wandi memberanikan diri bercerita. “Begini mah, maafkan Papah ya. Sebenarnya hutang-hutang yang waktu itu penagihnya datang ke sini, bukan buat modal warung tapi Papa main ini. Sekarang Papah nyesel banget dan pengen perbaiki semuanya. Dari awal pengen bicarain ini ke Mama tapi takut Mama berbuat yang lebih-lebih.” Lina menangis jadinya karena apa yang dia takutkan ternyata benar-benar terjadi, setelah dia kehilangan uang modal usaha dan menjual kebun warisan orang tuanya, juga banyak pengorbanan Lina. Wandi dengan mudahnya berkata kalau uang yang sudah dikeluarkan oleh Lina selama ini dipakai olehnya untuk kegiatan bodoh seperti itu.
Akhirnya hari itu juga, Lina tak berpikir panjang dan tidak ingin menemani Wandi berjuang lagi. Ia berniat mengajukan gugatan cerai dan mengumumkan kepada semua orang kalau Wandi sebenarnya telah menyia-nyiakan kesetiaannya. Hingga kabar itu terdengar sampai ke mertua Lina, bapak mertua Lina meminta kalau ia tidak melakukan hal yang demikian, karena mertua Lina mengaku tahu betul bagaimana anaknya. “Wandi sekarang nyesel banget, dia sekarang memarahi dirinya sendiri tidak mau makan bahkan hampir ingin bunuh diri.”
Sejak ancaman itu, Wandi tinggal bersama orang tuanya di kampung sebelah, ia meminta bantuan pada orang tuanya untuk terus mengingatkan Lina kalau dirinya tak mau berpisah. Atas bujukan ayah mertuanya, akhirnya Lina memberi kesempatan kepada Wandi karena mertuanya yang memohon, sebenarnya hati kecil Lina juga sudah bilang kalau sebenarnya ini bukan karakter Wandi yang sebenarnya. Lina sempat menjerit di ujung telpon ketika sedang dihubungi oleh mertuanya, “Ternyata aku yang selama ini menjual banyak barang-barang kita, menjual semua yang telah kita perjuangkan, kamu sia-siakan begitu saja.”
Dari jauh hari, ternyata keluarga Wandi tengah menyelesaikan banyak hutang milik Wandi di luar sepengetahuan Lina, karena bapak mertuanya kasihan pada Lina yang berjuang sendirian tapi anaknya tak bergeming. Kenyataanya terhitung ratusan juta, bekas modal judi online yang dilakoni anaknya. Orang tua Wandi menjual banyak aset miliknya, dan meminjam ke lain pihak untuk menyelesaikan urusan anaknya.
Lina menemui Wandi di kediaman orang tuanya dan menangis, “Aku akan kasih kamu kesempatan, asal kamu berubah dan enggak macam-macam lagi buat rumah tangga kita. Aku mohon jaga kepercayaan aku, dan kamu harus ingat anak kita masih kecil, aku harap kamu mengerti.” Setelah kejadian itu sebulan kemudian Wandi berniat menghubungi tempat kursusnya sewaktu bujang dulu, dia pernah magang di Jepang selama tiga tahun.
Rencana Wandi akan daftar dan berangkat lagi ke Jepang untuk mengganti aset-aset dan utangnya telah diketahui Lina istrinya. Setelah panjang lebar berencana, dan dia berpikir lebih matang untuk melanjutkan hidup, ia memberanikan diri meminta izin pqda istrinya. “Izinkan papa kerja lagi ke Jepang ma, izinkan papa menata kembali keluarga kita, papa niat ke sana kerja untuk membantu bapak melunasi hutang-hutang bekas papa dulu. Semoga cepat selesai, dan hidup kita lebih baik lagi. Papa gak sanggup kalau ngandelin dari ojek online disini.”
Lina menangis kecewa dan lirih hati, ia meyakini kalau suaminya adalah orang baik dan menemukan jalan sesat hanya terbawa arus. “Pa, mama percaya kedepannya papa bisa jadi imam dan pemimpin yang sempurna dan membawa kita lebih baik dari dulu, yang kemarin jadikan pelajaran, kepercayaan aku dan anak jadikan pegangan. Aku hanya bisa berdoa, semoga pernikahan kita memang benar-benar dilindungi oleh Allah, papa di sana sehat dan aku di sini sama anak sehat.”
Dalam kontrak yang tersedia Wandi harus mengambil selama lima tahun dan punya kesempatan setiap tahun bisa pulang selama dua minggu, tapi Wandi sudah bilang kalau satu tahun pertama dia gak bisa pulang biar jatah cuti dan ongkos pulang dikirim saja ke kampung buat cicil-cicil utang dia selama ini. “Sekali lagi, maafin papa ya ma, terima kasih udah nerima papa lagi.” Kata Wandi sambil menangis tersedu.
Delapan bulan kemudian, tiba waktunya untuk Wandi berangkat ke Jepang, di hari itu dia tidak ingin melepaskan pelukan erat istrinya. Perempuan yang selama ini dia banggakan, istrinya yang selama ini jaga perasaannya ternyata sudah luka. “Sekali lagi maafin papa ma, terima kasih mama udah udah percaya lagi sama papa, papa janji setelah lima ahun ini papa akan lebih baik dari sebelumnya, dan memperbaiki keluarga kita.”
Hati kecil Linda tetap membuka pintu maaf yang lapang sebesar-besarnya untuk Wandi suaminya, meski banyak orang yang menyayangkan, tapi ia sangat memikirkan matang-matang nasib anaknya kelak. Sambil memeluk erat suaminya, Linda berkata, “Papah yang sehat di sana ya, doa Mama selalu doa terbaik untuk papa.” Saat keberangkatan pesawat Wandi, keluarga mereka berkumpul dan berdoa bersama semoga memang apa yang dilakukan Wandi ini adalah jalan terbaik dan dia berubah tidak seperti ini lagi, dia lebih baik dari sebelumnya dan bahkan semoga ia benar-benar kembali ke jalan Allah. Aamiin.
+ There are no comments
Add yours