
Saya tahu, cara saya berbisnis buku mungkin terlihat ribet, tidak efisien, dan ketinggalan zaman. Tapi biarlah—saya memilih jalan ini dengan sadar. Baru-baru ini, saya harus terbang ke Kuala Lumpur hanya untuk bertemu seorang sastrawan Malaysia yang memberi proyek kecil. Honorariumnya pun tidak seberapa, cuma 6 juta rupiah. Banyak yang akan bilang, “untuk apa susah-susah ke luar negeri kalau uangnya segitu? Kirim dokumen digital saja, bayar lewat transfer, selesai.” Tapi bukan itu filosofi saya.
Dalam berbisnis buku—dan mungkin dalam hidup—ada nilai yang tidak bisa digantikan oleh efisiensi semata: silaturahmi. Ada kontak batin antara pedagang dan konsumen, antara penerbit dan penulis, yang tidak bisa diwakili oleh pesan singkat di WhatsApp atau panggilan virtual. Ketika Ujianto berkata bahwa kita akan digilas zaman jika tidak mengikuti arus modernisasi, saya paham maksudnya. Tapi bagi saya, hidup bukan sekadar mengejar kepraktisan, melainkan juga merasakan kedekatan yang nyata.
Globalisasi mengajarkan kita untuk serba cepat, instan, dan minim interaksi fisik. Bisnis buku pun tak luput dari tekanan ini: print-on-demand, transaksi digital, pemasaran algoritmik. Tapi saya masih percaya bahwa di balik buku, ada jiwa-jiwa yang perlu bersua. Ketika saya bertemu dengan sastrawan Malaysia itu, bukan hanya tentang menandatangani kontrak atau menerima honor—tapi tentang obrolan panjang di kedai kopi, tentang cerita di balik naskahnya, tentang tawa dan mungkin juga kritik yang hanya bisa terlontar saat bertatap muka.
Memang, bisnis pada dasarnya mencari untung. Tapi bagi saya, keuntungan tidak selalu diukur dari nominal finansial semata. Ada profit yang tidak terlihat: jaringan manusia, kepercayaan, dan energi kreatif yang hanya bisa muncul dari pertemuan langsung. Saya bisa saja meminta honorarium itu dikirim via rekening, seperti kebanyakan orang. Tapi saya memilih datang—seperti halnya Eddi Koben yang pernah menyempatkan diri datang ke kantor Pikiran Rakyat alih-alih sekadar menelepon. Ada kebanggaan dan kehormatan dalam tindakan fisik itu.
Mas Gun, zaman boleh maju, teknologi boleh memudahkan segalanya, tapi jangan lupakan ruh dari setiap interaksi. Silaturahmi tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh grup WhatsApp atau transfer bank. Ada rasa yang hilang ketika kita meniadakan pertemuan langsung. Mungkin saya memang kolot, mungkin cara saya tidak praktis—tapi inilah keyakinan saya.
Hidup ini terlalu singkat untuk dijalani dengan segala kepraktisan yang justru mengikis makna. Kadang, kita perlu ribet sedikit, perlu datang jauh, perlu berjabat tangan, agar yang tersimpan bukan hanya transaksi, tapi juga cerita. Dan dalam bisnis buku—seperti dalam hidup—ceritalah yang akan terus dikenang.