
Novila Misastra
Kenangan Ramdan #11. Bulan puasa selalu menjadi momen yang kutunggu-tunggu, tentu saja saat iftar. Selain karena nuansa spiritualnya yang kental, ada juga kebersamaan keluarga dan lelucon tak terduga yang sering terjadi. Namun, pengalaman di bulan Ramadhan tahun lalu benar-benar mengukir kenangan paling lucu sekaligus memalukan dalam ingatanku.
Hari itu, hari ke-10 puasa. Matahari masih terik, dan perutku sudah mulai keroncongan sejak pukul 15.00. Seperti biasa, aku menghabiskan sore dengan menonton video resep masakan berbuka di YouTube, sambil membayangkan kolak pisang dan ayam goreng ibu. Tiba-tiba, mataku menangkap jam dinding di ruang tamu: pukul 17.45! “Astaga, kok sudah maghrib? Aku ketinggalan azan?” batinku panik. Padahal, biasanya azan maghrib di daerahku berkumandang sekitar pukul 18.15. Tapi saat itu, tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke dapur sambil teriak, “Buka puasa, Bu! Sudah maghrib!”
Ibu, yang sedang asyik mengupas bawang, menatapku heran. “Maghrib? Itu jamnya masih kurang setengah jam, Nak,” katanya sambil menunjuk jam tangan di pergelangannya.
Aku membelalak. Ternyata, jam dinding di ruang tamu sedang rusak dan berhenti di angka 17.45 sejak siang! Aku baru sadar: baterainya mungkin habis. Tapi rasa malu belum sempat muncul, karena perutku langsung “berteriak” lebih kencang. “Tapi… aku sudah mengambil kurma untuk buka…” keluhku sambil memegang tiga butir kurma yang tadi kusiapkan.
Ibu tak bisa menahan tawa. “Ya sudah, makan saja itu kurmanya. Anggap saja buka puasa palsu godanya.
Tanpa ber pikir dua kali, kuhabiskan satu kurma dengan lahap. Manisnya langsung membangkitkan semangat. Tapi, baru tiga detik kemudian, azan maghrib benaran berkumandang! “Astaghfirullah… Aku sudah makan sebelum waktunya?!” Aku tercekat, wajah memerah. Ibu yang tadinya tertawa, kini ikutan panik. “Cepat, minum air banyak-banyak! Mumpung belum selesai azan!” serunya sambil menyodorkan gelas.
Aku menenggak air putih seperti orang kehausan, sambil berharap “batalnya” puasa itu bisa dianggap tidak sah. Adik-adikku yang melihat kejadian ini langsung mengolok, “Kakak curang! Puasanya cuma 10 jam!” Suasana riuh pun tak terelakkan. Ayah yang baru pulang kerja malah bingung melihatku yang sedang “memuntahkan” kurma secara tidak langsung. “Ini lagi latihan buka puasa cepat-cepat?” tanyanya sambil terkekeh.
Akhirnya, setelah tenang, kami memutuskan aku harus mengganti puasa di hari lain. Tapi momen itu jadi bahan candaan sepanjang bulan. Setiap kali jam dinding dilihat, keluarga pasti bertanya, “Sudah maghrib belum, ya?” sambil tersenyum kecut. Bahkan, ibu sengaja menyimpan kurma bekas “buka puasa palsu”-ku di kulkas sebagai pajangan. “Ini buat pengingat, jangan telan kurma sebelum waktunya,” katanya sambil ketawa.
Di balik kelucuannya, ada pelajaran berharga: puasa bukan hanya menahan lapar, tapi juga melatih kesabaran dan kehati-hatian. Aku juga belajar bahwa technology fails bisa terjadi di mana saja—bahkan jam dinding tua pun bisa jadi biang keladi! Tapi justru karena kesalahan-kesalahan kecil seperti ini, Ramadhan terasa lebih hidup. Kebersamaan keluarga, canda tawa, dan saling mengingatkan menjadi bumbu yang membuat bulan puasa tak terlupakan.
Hingga kini, setiap kali melihat kurma atau jam dinding, aku selalu tersenyum sendiri. Mungkin inilah cara Tuhan memberiku kisah untuk diceritakan ke cucu-cucu kelak: “Dulu, nenek pernah ngaji sama jam rusak…”