Manusia tidak selamanya sadar. Lebih seringnya lupa diri. Lupa usia, lupa posisi, lupa peran, lupa tugas dan lupa-lupa yang lainnya.
Seperti halnya aku hari ini. Sudah melupakan sesuatu yang sangat penting. Istriku ulang tahun yang ke 45 tahun.
Meskipun di dalam keluarga memberikan hadiah ulang tahun adalah sesuatu yang tidak wajib dilakukan, tetapi mengajaknya makan untuk sekadar ngobrol dan berbicara tentang capaian-capaian bahkan hingga evaluasi diri adalah kebiasaan yang selama ini dianggap menjadi sebuah momen yang dapat membuat istriku bahagia.
“Pah, mama sudah tua ya, Pah,” ucap istrku satu tahun lalu.
“Sisa usia kita semakin berkurang, Ma. Apalagi sudah lebih kepala empat. Kita patutnya bersyukur atas apa yang kita dapatkan, atas apa yang sudah kita lakukan, atas segala nikmat yang telah Allah kasih kepada kita,” jawabku sedikit panjang.
“Iya, Pah. Namun setua ini, apakah Mama masih menarik di matamu, Pah?” istriku kembali bertanya. Mendesak jawaban yang sepertinya sangat ingin dia dengar.
“Yang pasti aku tetap mencintaimu, Ma,” jawabku seraya menggenggam tangannya.
Istriku tersipu malu. Senyumnya tidak berubah sejak kami pertama kali bertemu dulu. Hanya saja, pipinya yang semakin tirus dan sedikit kerutan di sekitar mata sudah semakin nampak. Belum lagi, garis senyum yang membentuk lekuk di area hidung dan pipinya. Guratan usia memang tidak bisa disembunyikan.
“Terima kasih ya, Pah…,” ucap istriku sambil bersandar manja di lengan kananku.
Suasana restoran saat ini tidak terlalu ramai. Meja yang kupilih pun sengaja ada di lokasi khusus tamu yang ingin mendapatkan suasana yang lebih pribadi.
Aku mengelus rambutnya yang dibiarkan terurai sebahu. Masih hitam legam. Istriku termasuk perempuan yang beruntung. Seusia itu, rambutnya masih lebat dan berwarna hitam legam. Tidak sepertiku, rambutku nyaris seluruhnya memutih.
Aku menghela napas panjang. Mataku tidak sengaja menangkap bayanganku sendiri di kaca yang ada di sebelah tempat dudukku. Kaca yang bisa dijadikan cermin karena memantulkan bayangan yang cukup jelas.
“Ah, aku masih ganteng kok! Kumis tipis yang terawat, tubuhku yang masih segar bugar, rasanya belum terlalu tua jika dibandingkan dengan kawan-kawan seusiaku,” gumamku pada diri sendiri.
Di kaca ini pula aku memuji istriku dulu. Berkata bahwa dia masih cantik di usianya.
“Jangan khawatir lah, Ma… Mama masih cantik dan segar kok,” rayuku.
Istriku menyambut dengan satu pukulan manja di lenganku, “ah, papa bisa aja…,” katanya malu-malu. Dengan salah tingkah, istriku meneguk jusnya. Jus mangga tanpa es dengan sedikit gula.
Sore ini langit cerah, aku duduk di bangku dan meja yang sama ketika dulu kami duduk bersama. Merenung tentang digunakan apa saja usia kami yang tidak lagi muda.
Kunikmati hidangan makanan dengan lahap. Piring-piring nyaris kosong. Gelas jus sudah tinggal setengah.
Bisa-bisanya aku lupa kalau ini tanggal ulang tahun istriku, sesalku dalam hati.
Otakku berpikir keras. Bagaimana caranya memberikan kejutan kepada istriku nanti malam agar dia tidak merajuk.
Sambil mengaduk jus di gelas dengan sedotan, pikiranku melayang. Menelaah satu per satu benda yang dia sukai atau yang dia inginkan yang belum sempat aku belikan. Tiba-tiba seseorang mengagetkan lamunanku. Menepuk bahu lalu merangkul leherku dari belakang.
“Hey, kok ngelamun. Maaf ya… Vita kelamaan di toiletnya, Om!”
Perempuan muda bernama Vita adalah mahasiswa magang di perusahaan tempatku bekerja. Dia menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit sejak dia pamit ke toilet tadi.
“Eh, enggak. Kok lama sekali ke toiletnya?” tanyaku menyembunyikan gugup.
“Kenapa, om kangen ya? Kita ke Mall yuk! Vita besok ulang tahun lho. Om gak lupa kan…?”
Kepalaku mendadak sakit, dadaku terasa sesak.
Vita mengajakku pergi dengan rengekan manjanya tanpa bisa aku tolak. Kami pun meninggalkan resto menuju mall sesuai dengan keinginan Vita.
Ma, maafin malam ini Papah pulang telat. Nanti Papah belikan berlian ya, Ma. Bisikku dalam hati.
+ There are no comments
Add yours