
Cerita tentang Emak-emak tidak akan pernah ada habisnya. Dulu sih saya menganggap bahwa cerita tentang emak-emak hanya dialami oleh perempuan yang sudah berstatus ’emak-emak’ di luar sana.
Sering saya melihat bahkan tidak jarang ikut nyinyir kalau sudah ada kelakuan emak-emak yang di luar batas. Seolah mereka itu memang menyebalkan dan sering berpikir, “kenapa sih harus begitu?”
Beberapa contoh ulah emak-emak yang palng populer nih, salah kasih kode lampu sen, maksa masuk ke jalan yang baru habis dicor, ditilang polisi malah lebih galakkan emaknya daripada polisi, ngelabrak kurir gara-gara barang yang dipesan tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Bahkan baru-baru ini ada ulah emak-emak yang marah-marah ke kru musik yang mau manggung, gara-gara gak dituruti kemauannya ketika minta diiringi musik saat pemain bandnya lagi cek sound. Wew, asli yang itu malu banget. Emaknya siapa sih? Ha ha ha.
Memang di luar nurul sih ya. Saya bercermin ke diri sendiri, rasanya saya gak pernah tuh kayak gitu. Kepikiran juga enggak pernah. Saya bahkan bertekad, gak akan pernah bikin malu diri sendiri di depan umum. Alias akan selalu hati-hati.
Namun ternyata, emak-emak is emak-emak. Saya sendiri ternyata pernah melakukan beberapa kecerobohan khas emak-emak. Pelupa dan sembrono. Saya bahkan mau bertanya sama pembaca, apakah pernah menemukan orang yang seperti saya? Biar saya ceritakan.
Saya sadar betul, bahwa saya adalah tipe perempuan, eh, emak yang tidak teliti. Tidak seperti yang lainnya yang kalau belanja itu apik sekali. Saya bahkan tidak pernah mau masuk pasar kecuali kalau diantar orang lain. Dan ini bisa dihitung kurang dari sepuluh kali dalam seumur hirup. Pokonya saya lebih suka belanja yang dekat dan tidak perlu ribet. Mending nunggu penjual sayur saja deh, daripada harus ke pasar.
Kadang saya juga merasa ingin sekali bisa seperti yang lain, kalau mau belanja itu nanya harga, lalu tawar menawar sampai mendapatkan harga yang dimau. Kalau dianggap mahal lalu berlalu pura-pura gak jadi beli, biar dikasih murah gitu. Namun ya … balik lagi sama perasaan sendiri, kalau seperti itu saya malah merasa tidak tega sama penjualnya.
Saya kalau belanja, tipe yang main ambil atau bilang ke penjual butuh apa, baru minta dihitung semua. Bukan sok kaya tapi kalau memang butuh dan urgen, pasti tetap saya beli kok. Karena sebelum berangkat belanja saya sudah memiliki catatan barang yang harus dibeli karena sudah tahu mau masak apa selama seminggu. Sayuran dan bahan makanan harus dibeli hari itu karena mumpung ada pasar Kamis. Nyetok untuk seminggu.
Pagi ini, tiba-tiba saya merenung sendiri. Mengingat bahwa ternyata begitu banyak hal ceroboh gara-gara kebiasaan (gak nanya dan gak cek) tersebut, dan ternyata kejadiannya nyaris semua terjadi di hari Kamis. Karena memang kamis adalah jadwalnya belanja membeli stok sayuran di pasar Kamis.
Kejadian-kejadian yang merugikan itu akhirnya mau ceritakan di sini.
Salah Belanja Ikan Teri
Hari Kamis kemarin. Saya beli ikan teri di tukang ikan asin langganan. Bapak ini jualannya selalu laris manis karena memang kualitas jualannya cenderung lebih bagus daripada penjual yang lain. Kemasannya rapi dan dipajang dengan menarik, tidak ditumpuk di bawah. Bapak penjual menggunakan gerobak. Alasan lain, mungkin juga bapak ini menjual dengan harga yang lebih murah, saya tidak tahu. Pokoknya kemarin itu dagangan si Bapak dikerumunin ibu-ibu, sampai saya tidak bisa menjangkau apa yang saya mau. Tidak kehabisan akal, saya langsung saja menyelinap dan mendekati penjual sambil bilang, “Pak, minta tolong ikan terinya.”
Bapak penjual bertanya, “mau yang bungkus besar atau yang kecil?”
Saya menjawab, “yang kecil saja,” karena memang yang makan teri hanya saya di rumah. Yang lain gak doyan. Kemasan kecil lebih praktis.
Bapaknya mengambilkan dan memasukkannya ke kantong keresek. Tanpa saya cek, saya langsung membayar. Membeli ikan teri adalah belanja terakhir saya di pasar Kamis. Pas sampai di rumah, ternyata isi keresek saya adalah teri ketang. Bukan jenis ikan teri yang saya maksud; teri medan. Rupanya saya terlampau percaya diri bahwa bapak penjual mengenal saya dan tahu bahwa saya sula beli ikan teri yang mana. Jadinya masak ikan Teri gagal total padahal sudah terbayang nikmatnya seperti apa.
Wortelnya Ketinggalan
Saya belanja sayuran. Mengambil buncis, wortel, labu siam, toge dan lain-lain. Lalu ditumpuk di hadapan penjualnya sambil bilang, “Bu, sudah. Silakan dihitung.” Penjual menghitung dan memasukkan satu per satu sayuran ke kantong keresek. Pas sampai di rumah, mau bikin sayir sop. Buncis dan kawan-kawannya saya kumpulkan siap dicuci. Ayam sudah bersih tinggal rebus. Ternyata baru ingat, wortelnya tertinggal di tukang jualan. Mau disusul lagi malas. Ya sudah, sayurnya tanpa wortel.
Beli R**co malah Sed*p
Setelah belanja sayuran, sebelum pulang saya menyempatkan mampir ke warung terdekat. Karena butuh terigu. Saat ibu warung bertanya, “apa lagi, Néng?” di situ saya baru ingat saya butuh R**co.
Lalu ibunya tanya, “mau yang kecil atau yang kemasan 5000?” Saya jawab, mau yang 5000 saja, biar sekalian banyak.
Lalu, ibu penjual memasukkan belanjaan ke kantong kresek dan saya membayarnya.
Pulang ke rumah, saya langsung masak. Mengiris sayuran, membuat tempe mendoan, dan … saatnya membubuhkan penyedap rasa. Ketika saya merogoh kantong keresek, ternyata yang ada di kantong itu merek lain. Padahal saya tidak membeli itu. Dalam kepala saya berpikir, “kok bisa tidak saya cek terlebih dahulu ya? Beda banget rasanya, tahu.”
Masih banyak lagi kejadian yang menjadi drama ibu-ibu. Seiring dengan bertambahnya usia, maka semakin banyak juga lupanya. Semoga saja hanya lupa, bukan ego yang semakin bertambah kuat. Agar tidak menjadi bahan cacian dan menyakiti hati orang lain saja ya, Mak.