
Gambar ilustrasi bukber, dibuat oleh Meta
Catatan Ramadan #17. Saat azan magrib berkumandang, ada satu momen yang selalu dinanti setelah seharian menahan lapar dan dahaga: bukber atau buka puasa bersama. Bagi banyak orang, ini bukan cuma ritual makan biasa. Ada makna lebih dalam di balik sepiring nasi, segelas air, atau takjil manis yang disantap bersama. Bukber, bagi saya, adalah bentuk syukur yang nyata. Bayangkan, setelah 13–14 jam perut keroncongan, kita diingatkan betapa nikmatnya sesuap makanan atau seteguk air itu. Tanpa puasa, mungkin kita tak akan pernah benar-benar ngehargain betapa berharganya rezeki yang sering kita anggap remeh.
Tapi, bukber nggak cuma soal “balas dendam” sama makanan. Ini juga ajang ngumpul yang bikin hubungan sosial makin erat. Di tengau kesibukan sehari-hari, ngobrol santai sambil nunggu bedug jadi momen langka buat _reconnect_ sama teman, keluarga, atau tetangga. Di kantor, misalnya, bukber sering jadi tempat ice breaking buat karyawan yang jarang interaksi. Di kampus, mahasiswa beda jurusan bisa saling kenal karena satu wadah kolak. Bahkan di kompleks perumahan, bukber jadi cara buat tetangga yang biasanya cuma saling angguk, akhirnya bisa ngobrol panjang. Inilah kekuatan bukber: mengubah makan bersama jadi benang pengikat kebersamaan.
Yang nggak kalah penting, bukber juga mengasah empati. Saat kita duduk bersama, berbagi menu sederhana, kita diingatkan bahwa di luar sana masih banyak yang bahkan nggak punya makanan untuk buka puasa. Ini jadi tamparan halus buat kita yang kadang masih mengeluh soal menu bukber “itu-itu aja”.
Apalagi, tradisi bukber sering diisi dengan berbagi takjil ke musafir atau kaum dhuafa. Jadi, kebahagiaan buka puasa nggak cuma dinikmati sendiri, tapi juga dirasakan oleh orang lain.
Jangan lupa, puasa itu sendiri adalah latihan mengendalikan hawa nafsu. Nah, bukber yang ideal adalah yang nggak berlebihan. Makan secukupnya, nggak menyisakan makanan, dan tetap menjaga adab sebagai Muslim. Dengan begitu, kita nggak cuma menghargai nikmat Allah SWT, tapi juga menghormati hak tubuh dan sesama.
Singkatnya, bukber itu ibarat paket komplit: syukur, silaturahmi, dan solidaritas. Jadi, jangan cuma fokus sama menunya. Nikmati setiap detik kebersamaannya, karena di situlah esensi Ramadan yang sebenarnya bersemi. ***