Bukan Kisah Rama dan Sinta

Estimated read time 8 min read
Share This:
See also  Ibuku Terus Menangis

Rama dan Sinta

Siapa yang tidak tahu kisah Rama dan Sinta? Kisah cinta abadi yang terkenang sepanjang masa. Di dunia ini mungkin banyak sekali kisah yang mirip dengan itu. Dimana kekuatan cinta harus bersaing dengan rasa curiga dan rasa lain yang sebenarnya sulit untuk dimengerti.

Namun Syam, kisah kita teryata bukan kisah Rama dan Sinta. Meskipun mirip di beberapa sisi, pengorbanan Sinta tentunya jauh lebih besar daripada yang aku lakukan kepadamu. Kau pun bukan seorang Rama gagah berani yang mampu menarik busur panah dewa dan menaklukkan raja raksasa. Kau, menaklukkan rasa takut dan pandangan orang-orang pun masih ketar-ketir, Syam. Bahkan aku tahu, ada yang jauh lebih kau takuti di dunia ini. Yaitu tangisan seorang perempuan yang kau cintai. Namun nahasnya itu bukanlah aku. Jadi jelas ya, kisah kita tidak sehebat kisah Rama dan Sinta.

Syam, dari sekian cerita yang aku alami dalam hidup, sebelumnya aku tidak pernah merasa bahwa ketentuan Tuhan selalu sebaik dan seajaib ini. Aku bahkan tak acuh dengan apa yang terjadi dalam hidup. Namun ternyata, ketika aku tepekur dalam sebuah renungan yang panjang, begitu banyak hal terjadi yang sebelumnya kupikir sangat menyakitkan tetapi nyatanya justru itu yang terbaik bagi hidupku bahkan bagi kehidupan orang-orang di sekelilingku. Hm, mungkin juga bagimu dan orang-orang di sekitarmu.

Aku baru sadar, ternyata tepat sekali ketika Tuhan membuat kita saling berjauhan. Kita yang menyesali perpisahan waktu itu sampai menangis berhari-hari. Kau mengutukku berkali-kali karena aku yang pertama kali mundur dan menyatakan tidak sanggup melanjutkan hubungan kita.

“Kau berkhianat, Han!” ucapmu berkali-kali di telefon karena aku menolak saat kau mengajakku bertemu. Waktu itu di luar sedang hujan deras, aku duduk di pojokan ruang tamu rumahku dengan air mata yang sama derasanya mengalir di kedua pipi.

Sayangnya kamu tidak melihat itu. Tidak mengetahui bahwa betapa berguncangnya bahuku karena aku menangis sesenggukan – susah sekali berhenti. Hatiku tercabik perkataanmu yang mengatakan bahwa aku seorang pengkhianat.

Apa aku sudi dikatakan sebagai seorang yang mengkhianatimu? Tentu saja jawabannya tidak, Syam. Aku tidak merasa melakukannya. Namun lihatlah, berapa banyak air mata dan kepedihan yang aku sembunyikan untuk hidup bersamamu?

Jika kau pernah mendengarkan kisah cinta abadi antara Rama dan Sinta, maka itulah cinta kita yang tidak akan pernah hilang sepanjang masa. Namun apa artinya cinta jika Rama saja tidak pernah sepenuhnya mempercayai kesetiaan Sinta yang dengan sepenuh hati mencintai Suaminya Rama? Akhrinya Sinta pun menyerah dan memilih untuk membenamkan diri, membiarkan tubuhnya ditelan bumi.

See also  Rumah Tangga Wawan dan Sumi

Kisah Rama dan Sinta memang lain cerita dengan cerita kita, Syam. Aku teramat mencintaimu, aku memberikanmu bahkan lebih dari sepenuh hidupku. Namun apa yang aku terima? Nyatanya aku hanya mendapatkan tidak lebih dari separuhnya darimu. Waktumu, perhatianmu, kepedulianmu, dan apapun yang dibutuhkan seorang perempuan dari lelakinya.

Aku bukan perempuan bodoh, Syam. Nalarku masih jalan. Aku tidak seperti Sinta yang menyerah lalu memilih membenamkan diri ke dalam bumi demi untuk membuktikan cintanya kepada Rama. Beruntung, cintaku yang begitu besar akhirnya tidak mengalahkan logikaku. Aku memang mencintaimu dengan begitu dalam, tetapi aku harus tetap hidup dan berguna, Syam. Terutama untuk orang-orang yang telah benar-benar mendukungku dan menerimaku apa adanya.

Lalu apakah engkau tidak mendukungku, Syam?

Aku akui, kau benar-benar mendukungku pada banyak hal tertentu. Namun lagi-lagi, perempuan kadang perlu dukungan dan pengakuan yang bahkan terlalu sederhana. Aku tidak butuh didukung dan dimotivasi untuk berlari terlalu kencang karena aku sendiri bukan atlet marathon. Aku hanya ingin diterima bahwa aku hanya sanggup berjalan.

Aku juga sering mendengar ungkapanmu bahwa aku ini luar biasa hebat. Namun untuk menjadi hebat itu pun aku butuh pendampinganmu. Bukan dibiarkan berjuang sendirian. Perempuan begitu lemah tanpa perlindungan seorang lelaki tangguh yang mengaku akan menjadi tameng terdepan untuknya.

Aku teramat lelah. Ketika aku tepekur merenunginya, sudah terlalu banyak waktu yang aku habiskan untuk mencintai dan berharap kepadamu.

Kau pernah menyangkal, bahwa aku tidak boleh berharap kepada manusia. Oh tentu saja, aku tidak sedang berharap kepada seorang manusia, Syam. Karena ini bahasannya bukan soal urusan manusia, melainkan tentang sebuah kewajiban orang ke orang yang telah dituliskan dalam hukum Tuhan. Aku hanya pernah berharap pada penunaikan kewajiban. Kamu menyangkal? Terserah. Toh kamu tidak pernah benar-benar bersepakat dengan pendapatku bukan?

Aku sering merasa terpojok, Syam. Ketika aku mengambil keputusan dan kau bilang, “seharusnya tidak begitu.” Aku mengepang rambutku saja kamu bilang, “jangan begitu, itu jelek sekali!” Kau tahu? sejak saat itu aku menjadi malas bercermin dan mengepang rambut karena kau bilang aku jelek kalau punya rambut dikepang.

See also  Sesuatu yang Kerap Membuatku Hilang Arah

Aku masih ingat waktu itu aku mengikuti lomba menghias topi, aku sendiri memenangkan lomba itu. Namun apa yang aku dapatkan ketika aku bercerita dengan antusiasnya bahwa aku telah lolos menjadi juara? Kau hanya tersenyum simpul ketika melihat karya lukisanku di atas topi. Kau bilang, “ini sebetulnya biasa saja, tapi mungkin yang lain jauh lebih jelek dari ini.”

Dengan ringan sekali kau mengatakan itu. Menganggap bahwa hatiku sepenuhnya tidak akan pernah tersinggung dengan perkataanmu. Aku ikut tersenyum pura-pura demi mendengar itu. Lantas sejak saat itu aku tidak lagi mau menunjukkan hasil karya apapun kepadamu. Bahkan sejak saat itu aku merasa sangat buruk untuk sekadar menjadi tukang hias topi.

Ternyata sama sekali kau tidak pandai memberikan apresiasi. Kau hanya menantikan hasil terbaik dari apa yang aku lakukan tanpa bisa menghargai bagaimana kerasnya aku berusaha untuk mencapai itu semua.

Kau tahu Syam? Aku selalu merasa salah, merasa kurang dan apapun itu. Aku tidak tahu, bersama denganmu harus memeras sejuta energi yang aku punya. Bahkan aku harus keluar dari kodrat sebagai perempuan yang seharunya dilindungi dan dijaga. Aku harus menerjang bahaya hutan belantara tanpa dirimu. Bagai Sinta yang dibuang ke hutan larangan oleh Rama karena Rama takut dengan omongan rakyatnya yang memiliki anggapan buruk terhadap Sinta sang permaisurinya. Rama memang mencintai Sinta. Tetapi ia tega mengusir Sinta ke hutan selama sepuluh tahun lamanya untuk meredam prasangka orang-orang pada hubungan pernikahan mereka. Ajaib bukan?

Semula aku tidak percaya bahwa ada cinta yang seperti itu. Namun ternyata ada, Syam. Rama saja mencintai Sinta tetapi dia masih meminta Sinta masuk kepada kobaran api sendirian, masih mengusir Sinta mengasing ke hutan larangan. Cinta macam apa itu? Aku sempat heran, tetapi kau ingat, Syam? Kau pun bertahun-tahun tidak mau mengakui hubungan kita di hadapan orang lain bukan?

Tapi sudahlah. Biralah aku disebut seorang pengkhianat, Syam. Aku memang lebih memilih pria lain yang aku anggap memiliki cinta yang lebih sederhana dibandingkan dengan cintamu yang jauh berkali lipat lebih besar dari cintanya.

Kau memang sempurna mencintaiku, tetapi kerap melewatkan hal-hal kecil yang aku anggap lebih bisa membuatku bahagia; sesederhana sebuah pengakuan bahwa aku pun memiliki banyak sekali kekurangan. Aku menyerah. Aku tidak lagi mau mendengar pujianmu yang akhirnya membuatku jatuh bedebam. Sakit sekali.

See also  Hadiah Ulang Tahun

Aku tidak bisa sempurna seperti yang kau inginkan, Syam. Aku tidak bisa menulis syair dengan baik, tidak bisa membuat karangan bunga, tidak pandai bersolek, tidak bisa membuat rumah rapi dengan dekorasi yang keren dan bersih sempurna. Tidak pula berkuku tangan yang selalu bersih seperti perempuan lain yang mungkin sangat peduli dengan kecantikan mereka. Namun percayalah, aku sudah melakukan semuanya dibisa dan sebatas kemampuan dan ksanggupanku.

Ya, aku banyak sekali kekurangan, Syam. Kuku kotor bekas memasak yang belum sempat aku kerik habis sampai kembali bersih. Lantas apa perasaanku ketika kau memberikan komentar tentang itu? Aku hanya tergelak dalam ketersinggunganku, Syam. Melihat betapa bodohnya dirimu memilih diksi. Kau malah fokus pada tampilan kukuku, tanpa peduli pada alasan kenapa kukuku kotor sedemikian; aku memasak, tidak segan pergi ke dapur dan mengorbankan kecantikan kukuku demi sesuatu yang berarti bagi seisi rumah.

Namun ah, sekali lagi memang Tuhan selalu punya cara terbaik agar seseorang memiliki kehidupan terbaik. Meskipun harus melalui cara yang penuh cerca dan kepedihan. Aku terluka berdarah-darah meratapi perpisahan yang seseungguhnya aku buat sendiri, tetapi nyatanya, Dia pula lah yang telah menggerakan hatiku untuk menjadi sebagai seorang “pengkhianat” seperti yang kau sangkakan. Setidaknya aku sekarang tidak menjadi pengkhianat untuk perasaanku sendiri.

Ya, aku tidak lagi berbohong tentang perasaanku hari ini. Aku jauh lebih tenang dan jauh lebih merasa dihargai dan tentu saja, aku akhirnya paham bahwa bahagia ternyata sesantai dan sesederhana ini.

Sekarang aku tidak lagi membutuhkanmu, Syam. Pergilah! Aku pantas hidup tanpa keritikanmu yang melelahkan. Bahkan sebuah puja puji yang nyatanya di bagian akhir selalu menjatuhkanku. Aku tidak butuh itu. Biarkan aku memilih hidup dengan caraku sendiri, seperti kamu yang selalu bersikukuh memintaku untuk mengerti posisi dan kehidupanmu. Kritik dan saran yang aku ajukan dulu tidak pernah mememberikan arti dan perubahan yang signifikan bukan? Aku selalu saja tersingkirkan dengan hal lain yang lebih kau agungkan.

Anies Baswedan pernah membuat sebuah ungkapan, “air laut terasa nyaman di kaki, kecuali jika ada luka: terasa perih. Obati lukanya, jangan salahkan air lautnya.” Namun aku tidak suka laut, Syam. Aku tidak akan pernah lagi mendatangi laut.

Pergilah, kau tidak perlu hadir! Biarlah kita kembali asing, seasing-asingnya.

Share This:
Diantika IE https://ruangpena.id

Author, Blogger, Copy Writer, Content Writer, Ghostwriter, Trainer & Motivator.

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours