Pemandangan di Kampung Cipeundeuy, Desa Sukamulya, Garut Selatan, selalu berbeda dengan hiruk-pikuk kota. Keasrian masih terjaga, tanpa tercemar polusi asap. Burung-burung masih nampak mengibarkan sayapnya.
Suasana pagi itu terasa ramai, terutama membicarakan pemilihan presiden yang akan datang yang akan dihelat pada 14 Pebruari 2024. Zain, sang mantan aktivis, baru saja kembali dari kota kembang tempat tinggalnya sekarang.
Zain, merupakan anak pituin asli kelahiran kampung itu, telah merantau sejak tamat SD untuk menmba ilmu hingga kuliah di Bandung dan akhirnya menemukan jodoh gadis Bandung. Bulan Januari 2024, Zain menyempatkan pulang kampung untuk menengok orangtua yang masih hidup.
Bapak Zain, dianggap sebagai tokoh di kampung, bertanya, “A, kapan ke Bandung lagi?” Zain menjawab dengan penuh hormat, “Insya Allah Hari Selasa, Pak. Jangan lupa ya bawa beras, karena hanya itu yang ada di kampung.”, katanya.
Senin pagi Zain keluar rumah untuk mencari tukang panggul. Karena yang biasa manggul gabah itu pada sibuk bertani ke sawah, Zain akhirnya memutuskan memikul 50 kg gabah itu menuju tempat giling beras yang jauhnya sekitar 700 meter.
Setelah selesai menyimpan gabah di tempat penggilingan, Zain mampir ke rumah yang sedang dibangun. Ternyata rumahnya teh Deuis, yang sekarang sama tinggal di kota Kembang. Deuis memutuskan untuk membangun rumah di kampungnya, sekalian untuk tempat tinggal orangtua-nya.
“Selamat datang Zain, kapan dari Bandung?” tanya Mang Atang seorang petani Kapolaga yang kebetulan sedang ada di sana.
“Kemarin sore, Mang,” jawab Zain.
“Silahkan duduk, sambil ngopi ya, kebetulan kopi masih ada” kata mang Atang. Seperti biasa kalau Zain datang mereka sering memanfaatkan untuk sekadar berbagi informasi terkait perkembangan sosial dan politik dalam negeri. Orang kampung itu sudah sangat kenal bahwa Zain adalah aktivis pergerakan yang dulu-nya banyak mengedukasi warga terutama mereka kena kasus dan terdzalimi.
Di antara obrolan yang menyita perhatian warga yang hadir adalah percakapan tentang Pemilu.
“Zain, bagaimana nih tentang Capres, siapa yang harus dipilih, kata mang Atang sambil menikmati goreng singkong.” Kalau di kampung-kampung Nomor berapa yang ramai, kata Zain balik bertanya yang tak mau ketinggalan juga menikmati goreng singkong sambil minum kopi merk kapal Api.
“Di kampung ramai nomor urut 2 namun, setelah dipikir-pikir, kok perasaan gak sreg ke hati. Banyak curangnya, banyak iming-imingnya, banyak juga ancam-ncamnya. Beda sekali dengan Nomor urut 1 yang pembawaannya tenang, adem, dan tidak gede ambek.. terus menurut berita dia penuh prestasi, berhasil menciptakan kerukunan umat beragama. Menciptakan lingkungan yang harmonis antara pemeluk agama yang berbeda. Dan yang paling keren, dia membangun stadion bertaraf internasional dan Formula E yang diakui oleh negara-negara luar. Prestasinya pun tidak hanya diakui dalam negeri, tapi juga mendapatkan banyak penghargaan di tingkat internasional.”, ungkap mang Atang yang wawasan politiknya sudah sejajar dengan pengamat politik.
Zain, pura-pura heran: “Kok bisa gitu, mang, kenapa ya, lanjut Zain memantik obrolan selanjutnya. Dengan sigap mang Atang menjawab: “Iya karena hanya nomor 1 lah yang punya nilai agamis, cerdas, dan punya rekaman kinerja yang bagus. Kalau orang waras, pasti akan memilih nomor urut 1 lah.”, katanya sambil mengepulkan asap rokoknya.
Ustadz Ridwan, seorang pengajar pengajian ibu-ibu, ikut berbicara: “Betul, kata Mang Atang. Presiden harus menyirami dengan sifat kenabian, yaitu jujur, cerdas, amanah, dan pandai berkomunikasi, meyakinkan orang lain untuk percaya dengan program-programnya.”
Zain semakin penasaran dengan pemikiran orang kampung yang wawasannya maju itu: “Emang nomor urut 2 dan 3 gimana, gitu?”
Mang Atang: “Nomor 2 udzur. Kakinya aja udah pakai pen. Pasti kalau berdiri gak akan bisa lama dan jalan pun kelihatan gak ajeg. Terus sudah strook 2 kali, katanya. Dia juga terlihat pemarah.”
Ridwan, menambahkan: “Kalau nomor urut 3, dia kan tidak berprestasi. Provinsi yang dia pimpin malah masuk kategori termiskin di Jawa. Rakyatnya pun dalam kasus Wadas ditindas tidak ada pembelaan. Terus juga dia terbiasa dengan nonton film yang tidak senonoh, kata Ridwan.”
Percakapan mereka berlanjut, membahas lebih dalam mengenai ketiga calon presiden dan wakil presiden, serta dampak yang mungkin akan terjadi bagi warga negara jika salah satu dari mereka terpilih.
Ketua RT, Pak Iman, yang kritis terhadap keadaan bangsa, juga ikut serta. “Untuk menilai Paslon Presiden, kita harus melihat bagaimana pengalaman dia mempin sebelumnya. Bagaimana programnya, ide dan gagasannya, dan yang terpenting adalah rekam jejak si calon presiden itu…”
Dari berbagai pernyataan panjang yang jadi perbincangan hangat, Mang Atang menyimpulkan, “Saya lebih memilih nomor 1 karena hanya itu yang punya nilai agamis, cerdas, dan rekaman kinerja yang bagus,” katanya.
+ There are no comments
Add yours