Sedalam-dalamnya laut bisa terukur, tetapi siapa yang mampu mengukur kedalaman hati seseorang? Mana bisa? Kita hanya bisa berusaha untuk sedikitnya menyelami hati orang lain. Terlebih di hari yang fitri dimana semua berkewajiban saling memaafkan.
Hari raya idul fitri sejatinya waktu yang paling banyak digunakan untuk berkumpul bersama sanak famili. Bercengkrama dan bersenda gurau. Semua hal dijadikan bahan obrolan demi untuk “terkesan nyambung” ngobrol terutama dengan saudara yang sudah lama tidak berjumpa.
Namun beberapa orang masih sering lepas kontrol. Tanpa bisa mengerem dan memfilter pertanyaan, kadang bahasan yang tidak tepat pada tempatnya kerap menyinggung perasaan lawan bicara. Bahkan, satu dua merasa menyesal; “mengapa pertemuan keluarga itu mesti ada?”
Pertanyaan yang seolah biasa, menjadi sesuatu yang membebani perasaan lawan bicara. Tanpa disadari meluncur begitu saja, seperti:
1. Kapan nikah, kok tiap Idul Fitri masih sendiri saja?
2. Sudah beberapa tahun nikah, kok belum punya momongan saja, belum siap apa gimana?
3. Belum isi juga ya? Sudah coba konsultasi ke dokter A, B, C?
4. Sudah lulus, sekarang kerja di mana? Bisa bagi THR dong!
5. Suamimu kerja apa sekarang? Sibuk sekali ya, kok jarang kelihatan?
6. Sudah gede anaknya, kapan nambah momongan?
7. Sekarang kan sudah kerja, masa pulangnya masih pakai (kendaraan) umum saja. Beli mobil dong!
8. Banyak lagi pertanyaan basa-basi yang kadang tidak perlu dijawab lagi.
Sepintas, percakapan tersebut biasa saja. Hal normal untuk mereka yang memiliki hidup normal dan sesuai dengan keumuman. Nikah cepet, punya pekerjaan tetap, berkeluarga dengan anak yang sehat-sehat, punya kendaraan dengan cicilan lancar, bisa bagi THR tanpa beban, habis nikah langsung diberikan keturunan.
Namun bagaimana jika menikah, memiliki anak, memiliki pekerjaan tetap, dan kendaraan adalah hal yang memang masih menjadi sesuatu yang diperjuangkan habis-habisan?
Tidak kah para penanya tersebut bisa sedikit saja menyelami perasaan?
Mencoba paham bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan beraneka ragam. Menciptakan manusia dengan cerita yang tidak sama, perjuangan dan kadar sabar yang berbeda. Jangan bebani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dan menambah kuat keinginan. Jangan biarkan pertanyaan kita merusak keyakinan mereka pada Tuhan bahwa doanya akan dikabulkan. Gara-gara ditanya kapan punya momongan, seorang perempuan yang rajin berdoa meminta kepada Allah menjadi putus asa dan mengutuk dirinya bahwa dia adalah perempuan yang benar-benar tidak akan bisa memiliki anak.
Bagaimana jika di hari raya yang seharusnya saling memaafkan, malah menumbuhkan berbagai macam kebencian baru di dada mereka?
Sekadar tips untuk menghindari keceplosan bahasan yang menyinggung perasaan,
1. Pahami lawan bicara dari mulai latar belakang dan kisah hidupnya. Jika tidak terlalu paham, coba ingat-ingat lebaran tahun lalu dia kayak gimana. Jika sejak tahun lalu memang belum nikah, maka tahan pertanyaan tentang nikah. Jaga perasaannya.
2. Banyak lah membaca situasi dan pengetahuan lain. Agar bisa menghadirkan bahasan yang “out of the box” dan jauh dari kemungkinan bersinggungan dengan perasaan. Soal politik, arus mudik, tradisi lebaran di tempat lain, kejadian virall yang lagi in, atau soal rencana lebaran haji mumpung lagi kumpul kan baik bahas rencana qurban sama-sama sambil kumpul lagi keluarga.
3. Selalu ingat 7 nasihat Ali bin Abi Thalib soal menghormati orang lain.
– Jangan bicara tentang harta di depan orang miskin
– Jangan bicara tentang kesehatan di depan orang sakit
– Jangan bicara tentang kekuatan di hadapan orang yang lemah
– Jangan bicara tentang kebahagiaan di depan orang yang bersedih
– Jangan bicara tentang kebebasan di depan orang yang terpenjara
– Jangan bicara anak di depan orang yang tidak memiliki keturunan.
Jadilah lingkungan positif bagi orang lain, agar kesucian hari raya tetap terjaga.
+ There are no comments
Add yours