“Seandainya mamamu paham bahwa berjaya atau bangkrut adalah ketentuan Tuhan bukan karena menukarmu dengan uangnya Baron, kau mungkin bisa hidup lebih bahagia dengan cara yang kau sukai, Ann. Namun meskipun kita tidak bisa bersama, aku tetap mencintaimu tanpa keraguan. Sejak dulu tidak pernah berubah.”
Percakapan itu terus menerus bersahutan. Terucap lantang tanpa suara. Ingin disampaikan tetapi tidak memiliki keberanian. Ya, Yuda hanya menyimpannya dalam hati.
Momen lebaran ini Anna cuti kerja. Jarak bandung dan Surabaya terasa begitu jauh karena telah memisahkan raga mereka. Sepasang insan yang tidak bisa saling memiliki. Walaupun dekat, Yuda tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan perhatian lebih kepada perempuan yang dicintainya itu. Ia hanya mampu menyapa Anna sebagai rekan kerja di kantornya. Menyaksikan perempuan itu diantar jemput oleh pria lain di hadapannya. Hanya membuat pilu hati saja.
Konon, Yuda ternyata cinta pertama Anna sejak duduk di bangku SMA. Keduanya selalu bisa saling mendukung, menyemangati hingga keduanya sama-sama lulus dari bangku universitas sesuai cita-cita kedua orangtuanya. Orangtua yang tidak merestui mereka untuk pacaran dengan alasan belum saatnya.
“Sebaiknya kalian temenan saja,” ujar tante Santu, ketika Yuda meminta izin untuk lebih dekat dengan putrinya.
Rupanya larangan itu memang benar-benar larangan bagi keduanya. Belakangan Yuda tahu jika Anna sudah dijodohkan dengan seorang konglomerat sahabat tante Yayu jauh sebelum Anna mengenal perasaan cinta.
Perjodohan dilakukan ketika perusahaan tante Santi bangkrut dan rekan bisnisnya bersedia membantu memulihkan perusahaannya dengan sebuah syarat: Santi harus bersedia memberikan anak perempuan semata wayang untuk mejadi istrinya kelak. Terdengar mengerikan memang, bagaimana bisa anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah dipinang oleh lelaki yang memiliki perbedaan usia yang sangat jauh.
“Jangan khawatir, ketika dia gadis nanti, dia tidak akan menolak semua fasilitas yang akan aku berikan kepadanya,” ujar Baron.
Kesepakatan bisnis itu dibuat belasan tahun silam. Anna yang masih duduk di bangku SD mana paham dan mampu melakukan penolakan.
Saat itu Baron sudah menjadi eksekutif muda. Direktur perusahaan besar warisan orangtunya. Apa yang tidak bisa dibeli oleh kekayaan yang dia punya. Sejak remaja, Baron sudah senang berganti pasangan. Melihat Anna yang cantik sedari kecil, ia dengan suka rela menggelontorkan dana ke perusahaan milik Santi. Anak gadis yang sudah terlihat sangat cantik sejak kecil itu akan menjadi miliknya suatu hari nanti ketika ia sudah mengerti.
“Anakmu akan sangat cantik ketika besar nanti, Santi. Biar utangmu dibayar dengan itu saja.”
Ucapan Baron sekali lagi membuat Yayu menelan ludah. Pikirannya kacau, memikirkan masa depan dan nasib anaknya. Hidup menjadi single parent itu tidak mudah. Mengelola perusahaan tanpa sokongan dana dan tempat berbagi masalah itu sangat membutuhkan energi.
“Baiklah, Baron. Dengan senang hati,” ucapnya menyepakati.
Akhirnya Anna berhasil dinikahi Baron saat lulus kuliah. Tanpa kompromi, tiba-tiba ‘Om om’ dengan perbedaan usia 20 tahun itu datang melamar dan menyepakati tanggal pernikahan. Hatinya hancur lebur. Bukan hanya itu, ia pun harus berpisah dengan cinta sejatinya, Yuda.
Mengutuk sang mama bukanlah solusi, bahkan ia tidak memiliki banyak waktu untuk meratapi nasib. setelah menikah ia dituntut untuk selalu tampil cantik, didatangkan para perawat dan ahli kecantikan. Anna harus selalu ramping dan cantik setiap hari. baju-baju mewah dan apapun yang mendukung penampilan disediakan Baron tanpa diminta.
Kehidupan Anna selanjutnya adalah hari-hari yang menyedihkan. Dipaksa tersenyum demi sang mama yang memintanya bertahan demi kelangsungan usaha.
Karena selalu murung diam di rumah yang bak istana, Anna diizinkan untuk datang ke kantor milik suaminya. Ia pun diberi jabatan sebagai wakil direktur. Sebuah jabatan yang sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa. Itu hanya kedok, agar ia boleh berinteraksi dengan orang lain di rumah. Agar bisa datang ke kantor. Semua pekerjaan dihandle bawahan.
Sesekali, ia bertemu dengan Yuda. Lelaki yang sangat dicintainya di kantor itu.
“Kamu sangat beruntung menjadi istri dari orang sekaya pak Baron,” ucap Yuda dengan suara gemetar. Kalimat itu adalah kalimat pertama yang diucapkannya secara langsung setelah berbulan-bulan bungkam. Merasa kecewa kekasihnya menikah dengan orang lain. Perlu waktu yang lama agar ia bisa memaafkan keadaan da berdamai dengan dirinya sendiri.
Kesedihan ia tahan sekuat tenaga, melihat Anna turun dari mobil mewah setiap hari. Ya, mobil mewah itu milik bosnya.
“Jangan asal bicara, aku tidak menginginkan pernikahan ini, Yuda. Bawa aku pergi, aku ingin bersamamu,” pinta Anna.
Kepala Yuda langsung terasa sakit ketika mendengar permintaan itu. Akal sehatnya berperang dengan hati yang dipenuhi dengan rasa cinta.
“Saat ini aku belum bisa, Ann. Tapi aku janji, aku akan melakukannya,” janji Yuda.
Mendengar janji Yuda, Anna seolah mendapat angin segar. Ia semakin bersemangat. Murung hilang, wajahnya kembali berseri, matanya yang indah kembali berbinar. Baron senang, Yuda pun merasa bahagia.
“Yuda, berjanjilah untuk menepati janjimu untuk menjemput aku dan melepaskan ikatan yang mengekang ini.”
“Aku akan berusaha. Izinkan aku membuat Mamamu percaya.”
“Mama gak akan bisa kasih izin. Pupuk saja keberanianmu untuk membawaku pergi dari sini,” rengek Anna.
“Ann, itu bukan jalan keluar yang mudah. Begini saja, kamu tetap datang ke kantor, dan kita akan bertemu setiap hari di sini.”
“Sebagai rekan kerja?” tanya Anna.
“Iya, kita harus bersabar sementara.”
Meskipun Anna tidak yakin atas ucapan Yuda, tetapi setidaknya ia masih bisa menyapa Yuda di tempat kerja. Sesekali ia bisa pergi makan siang bersama dengan alibi bicara soal pekerjaan.
Tidak ada yang curiga. Semua berjalan dengan semestinya. Sampai suatu saat tante Yayu memergoki mereka berdua makan siang bersama di sebuah restoran.
“Anna! Sedang apa kau di sini? Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah punya suami masih berani makan berduaan dengan lelaki ini,” ucap Santi.
Matanya berapi-api. Lalu menarik tangan Anna dengan kasar, “pulang sekarang! Suamimu pasti mencarimu!” perintah Santi.
“Seharusnya Baron tidak akan mencariku saat ini. Ia pasti sedang bersenang-senang dengan perempuan lain, Ma.”
“Jaga ucapanmu! kamu yang salah, telah berani jalan dengan mantanmu yang cuma karyawan ini, malah mengarang cerita buruk soal suamimu sendiri!”
Yuda yang sejak tadi diam mencoba menengahi perdebatan anak dan ibu di hadapannya.
“Ann, mamamu benar. Pulang lah!” ucap Yuda. Hatinya perih, tetapi harus rela mengatakan itu.
“Tida, Yuda, aku ingin denganmu. Pernikahan ini tidak pernah aku inginkan. Biar Mama saja yang pulang menemui menantu kesayangannya. ”
Anna beringsut menarik tangan Yida mengajak pergi dari tempat itu.
“Anna, kamu jadi kamu lebih peduli sama orang lain daripada Mama?”
“Mama juga, anak sendiri tidak mama percayai. Mama terus saja membela orang lain,” sanggah Anna.
Santi merasa geram. Ingin rasanya membalas kembali perkataan anaknya. Namun ia pun harus menjaga harga diri di tempat umum.
“Awas kamu Ann…,” makinya. Tangannya mengepal keras, sekuat tenaga menahan amarah.
Dua hari setelah itu, Yuda dipecat secara tidak terhormat. Ia kehilangan pekerjaannya. Sementara Anna mendapatkan hukuman tidak boleh lagi keluar rumah.
Dua tahun lamanya mereka tidak saling menyapa. Kehidupan Anna makin hari kian berat. Ingin rasanya pergi tetapi ada bayi mungil yang kini harus dijaganya. Senyum bayi itulah yang membuat Anna bisa bertahan sejauh ini. Rumah yang megah tidak berarti jika berdampingan dengan suami yang tidak dicintai.
Suami yang katanya sangat mencintainya tetapi masih saja berganti perempuan di luar sana.
“Sayang, kamu tidak perlu banyak protes. Di luar sana betapa banyak perempuan yang bermimpi ingin menjadi nyonya Baron. Bersyukurlah karena aku lebih memilihmu. Lagi pula aku masih senang melihat Mama mu senang dan percaya bahwa ia benar-benar memiliki perusahaannya.”
“Maksudmu apa?” penasaran Anna.
“Sejak aku membelimu dari Santi, itu berarti aku pun sudah membeli semua aset keluargamu. Biarlah Santi bekerja untukku sekarang agar aku tidak susah payah membesarkan anak perusahaanku yang satu itu,” papar Baron.
Bagai disambar geledek, ingin rasanya Anna menampar lelaki itu. Namun ditahannya kuat-kuat. Anna harus menggunakan strategi agar tidak terlalu memancing kemarahan Baron. Ia memiliki anak buah yang banyak. Jika ia macam-macam maka celakalah.
Malam hari, ketika Baron pulang dalam keadaan mabuk, Anna berhasil melarikan diri dengan membawa bayinya.
**
“Sayang, terima kasih sudah membuat masakan yang lezat.” Yuda bangkit dari kursi makannya. Membawa piring untuk langsung dicucinya.
“Biarkan di sana, Mas. Bukankah kamu harus pergi kerja? Biar aku saja,” cegah Ambar.
Perempuan lemah lembut yang kini sedang mengandung anaknya sudah berhasil membuatnya lupa kepada angan-angan Yuda soal Anna. Perempuan ini memang sederhana. Menerima Yuda apa adanya, menemani dari titik nol, ketika Yuda benar-benar sedang tidak memiliki pekerjaan.
“Baiklah, aku pergi dulu ya…”
Dikecupnya kening istrinya itu, kemudian menuju tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan yang bisa jadi tidak ada kaitannya dengan perusahaan tempat bekerjanya dulu.
Sesampainya di kantor manager memberikan perintah kepada seluruh staf untuk berkumpul di ruang rapat.
Di ruang rapat, Yuda bertemu Anna. Wajahnya tirus, tampak begitu kuyu. Badannya yang ramping terlihat terlalu kurus.
“Kenalkan ini Anna. Mulai hari ini Anna akan bekerja dengan kita. Tolong solid ya!” ucap pak Manager.
“Ann, kenapa kamu di sini?”
“Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu pindah kerja ke sini.”
“Jangan pura-pura tidak tahu, bahwa suamimu telah memecat aku secara sepihak,” sinis Yuda.
“Apa? Sama sekali aku tidak tahu, Yud!”
“Sudah lah! Kamu sendiri kenapa bekerja? Bukankah semua fasilitas mewah sudah kamu dapatkan?”
“Aku kabur dari rumah. Sudah 6 bulan aku makan dari uang yang berhasil aku bawa ketika melarikan diri. Kini aku harus berjuang untuk menghidupi diriku dan bayiku.”
“Bayi?” tanya Yuda seraya menelan ludah.
Kukira hanya aku yang akan menjadi ayah dari anak-anakmu, Ann, batin Yuda.
“Sekarang aku sudah sendiri. Tidakkah kau mau kembali dengan aku, Yuda?” Anna menunduk malum. Merasa menyesal mengucapkan itu.
“Hm, aku…” gugup Yuda.
Sejenak kemudian Anna berubah pikiran. Ketika melihat cincin yang melingkar di jari manis Yuda.
“Baiklah. Betapa beruntungnya perempuan yang bisa mendapatkan cintamu yang tulus itu, Yuda. Semoga kamu bahagia.”
“Ann, …”
“Ya….?”
“Kita harus terima ini semua. Kita bekerja sebaik mungkin di sini. Aku tetap akan menjadi temanmu,” ucap Yuda dengan sangat berat.
“Hm, iya, Yud.”
Keduanya kembali ke ruangan masing-masing. Melanjutkan pekerjaan dengan dialog yang belum selesai dalam hati dan benak masing-masing.
**
Tahun berganti. Anak Yuda sudah lahir. Pun demikian anak Anna semakin besar. Keduanya fokus bekerja untuk melakukan yang terbaik bagi keluarga. Yuda naik jabatan, Anna kerap mendapatkan penghargaan sebagai karyawan terbaik.
“Memang benar, mungkin kita ditakdirkan hanya untuk menjadi teman ya, Ann. Sejak dulu kita selalu saling dukung dalam hal apapun.” Ucapan Yuda terdengar datar. Ada beban di hatinya.
“Kamu menganggap aku teman, tetapi bagiku kamu tetap kekasihku,” jawab Anna. Lanjut menyendok nasi goreng hidangan makan siang mereka.
“Ann…” Yuda menggenggam lembut tangan Anna.
Tanpa bisa melanjutkan ucapannya, tiba-tiba Santi datang menghampiri.
“Di sini rupanya. Kamu, Yuda telah berani mempengaruhi anak tante untuk meninggalkan suaminya! Dasar laki-laki…,”
“Apa, Ma? Yuda tidak pernah mempengaruhi aku apapun. Bahkan Mama telah berhasil membuat kami hilang kontak setelah Mama membuat Baron memecatnya dari perusahaan. Mama puas?”
“Anna, lagi-lagi kamu membela dia? Ayo pulang. Kita bangkrut kamu harus bertanggung jawab atas semua ini.” Santi menarik kasar pergelangan tangan putrinya.
“Ma, biarin aku merasakan kebahagiaan aku. Aku mau tetap bekerja di sini untuk putriku.”
Santi berlalu meninggalkan Anna dan Bayu di meja makannya.
“Maafkan mamaku yang gila harta itu,” melas Anna.
“Gak apa-apa, Ann. Berjanjilah untuk tidak menyerah pada kenyataan. Kamu harus berjuang demi anakmu.”
Yuda menggenggam tangan Anna. Memberikan kekuatan.
“Yuda…, aku masih mencintaimu.”
“Lanjutkan makannya, sebentar lagi jam istirahat habis,” canda Yuda.
“Ok, ok. Aku habiskan,” jawab Anna.
***
“Lebaran ini aku ambil cuti. Aku mau pergi ke Surabaya menemui pakdeku. Di sana aku akan mendapatkan ketenangan. Daripada aku pulang menemui mama di rumah,” pamit Anna dalam pesan WA.
“Aku doakan semoga kamu selamat sampai tujuan,” balas Yuda.
“Jaga dirimu baik-baik, Ann.”
“Kamu juga. Sampe jumpa lagi, teman…”
Yuda menghela napas panjang. Rasanya ada yang hilang, dibawa jauh kereta ke Surabaya.
Anak istrinya sudah lelap. Yuda mengusap wajah, beristigfar. Dipandanginya cincin yang melingkar di jari manisnya. Bukti ikatan pernikahan suci dengan sang istri.
“Anna, kamu benar, kita memang ditakdirkan untuk tetap menjadi teman, meskipun aku belum benar-benar bisa berhasil memadamkan rasa ini kepadamu. Aku tahu, bahwa rasa tak pernah bohong.”
***
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!