
Bagai menggenggam bara api, mempertahankan kebenaran di zaman sekarang. Dipegang panas dan tersiksa, dilepas juga lebih bahaya.
Benar, berusaha mengikuti kebenaran adalah hal yang sangat berat dilakukan sekarang. Menghindari dosa dianggap sok suci, menolak dengan halus dianggap pro dan mengikuti arus. Bahkan tidak jarang disebut munafik ketika mulut berkata tidak tetapi belum bisa menolak dengan tegas ketika berada di lingkaran orang-orang yang belum bisa meninggalkan dosa.
Tidak semua orang yang memutuskan untuk hijrah ke kehidupan yang lebih baik, selamanya bisa tegas menolak kemaksiatan. Apalagi mereka yang benar-benar baru belajar. Hidayah baru menyapa. Memegang teguh agama dilakukannya susah payah. Kadang tertatih, kadang gagal, kadang kembali lagi; futur.
Ketika diajak berbuat dosa oleh seseorang yang sebenarnya sangat dihormati, tidak mungkin langsung ditampar, langsung minggat, langsung melawan detik itu juga. Ada banyak orang-orang yang masih merasa harus mempertahankan posisi. Takut dipecat, takut kehilangan relasi, pekerjaan, bahkan takut tidak memiliki teman. Walaupun sebenarnya ia sangat berhak melakukan perlawanan, tetapi apa boleh buat, kekuatan iman berbanding lurus dengan kekuatan untuk melakukan perlawanan da penolakan pada ajakan kemaksiatan.
Misal, lagi puasa diajak menemani makan siang sama atasan. Hati sih bilang tidak, karena jelas dong itu perbuatan salah. Tapi seketika muncul rasa takut dipecat dari pekerjaan, takut tidak lagi mendapatkan kepercayaan sang atasan, terbayang anak istri di rumah makan apa kalau tidak lagi bekerja, apakah memang berani langsung menolak secara frontal?
Pasti seseorang akan berusaha memberikan alasan yang sistematis, secara baik-baik. Dengan cara yang sopan, atau bahkan nekad menemani duduk, melihat yang makan siang tetapi tetap menjaga puasa. Banyak kemungkinan pilihan yang dilakukan sebagai respon mempertahankan keimanan.
Bahkan jangan salah, ada lho, orang yang masih mengikuti kemauan sang teman dekat, dengan terus berharap temannya bisa tertular kebiasaan baik, bisa pelan-pelan menyadarkan. Walaupun ya…, pilihan ini dangat berisiko. Alih-alih bisa memengaruhi ke jalan kebaikan yang ada malah kembali terseret arus. Bukannya mewarnai, malah kembali ikut terwarnai.
Tidak mudah memang berusaha baik di lingkungan yang belum sepenuhnya baik. Bagaikan makan buah simalakama. Dimakan mati, tidak dimakan mati pula.
Seperti kata hadis Nabi saw:
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Bara api itu dilepas bahaya, dipegang erat pun tersiksa. Cibiran, makian, hinaan, tuduhan, masuk ke telinga, lantas bersemayam di hati. Membuat takut, membuat kalut. Ada rasa takut dijauhi, ada rasa takut tidak dikenali lagi, ada rasa takut dikucilkan, ada rasa, takut mengurangi rejeki.
Namun itulah risiko. Menjadi baik, memang tidak semudah membalik telapak tangan. Maka dari itu, ketika keimanan masih bersemayam dalam hati, peliharalah. Walau sebatas mengingkari dengan hati.
Rasulullah saw berkata, “selemah-lemahnya iman adalah membenci dengan hati.”
Bersyukurlah yang masih bisa punya rasa benci dan pengingkaran dalam hati, meskipun sangat sulit disampaikan, diungkapkan, dan dipahamkan kepada orang lain.
Tidak peduli seberapa besar tuduhan, tidak perlu baper, tidak perlu menghabiskan waktu untuk menjelaskan apa yang ada di benak kita yang sesungguhnya.
Karena sekeras apapun kita memberikan penjelasan, akan sangat sia-sia bagi mereka yang enggan mau mendengarkan.
Abaikan saja. Ikuti kata hatimu, pegang prinsip kebenaran itu. Tidak perlu takut. Innallaha ma ana.
Semoga bermanfaat.