“Assalamualaikum.”
Darul mengucapkan salam dibalas oleh sahutan sang ibu dari dalam. Dilepaskannya sepatu lusuh berwarna hitam yang sudah mulai sempit dan sobek di bagian sisi kiri dan kanan.
Berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh membuat kaki anak berusia 12 tahun itu terasa sakit karena sepatunya yang kesempitan. Namun ada yang jauh lebih sakit hari ini. Tiga orang temannya telah mengolok-olok sampai dirinya kehilangan semangat. Rasanya langit runtuh dan tidak akan ada lagi hari esok untuknya.
“Mak…,” teriak Darul. Kaki kecilnya yang terasa sakit, melangkah menuju dapur mencari emaknya berada. Ternyata benar saja, emak sedang sibuk di dapur memeras santan kelapa untuk bahan kudapan. Setiap sore, emak menyiapkan beberapa macam kue untuk diantar besok subuh ke toko kue.
“Sebentar, Rul. Tangan Emak basah,” kata emak.
Perempuan paruh baya itu lantas mengeringkan telapak tangannya dengan samping yang dikenakannya sebagai rok. Darul mencium punggung tangan ibunya dengan penuh hormat.
“Emak kapan selesai?” tanya anak itu. Wajahnya murung diliputi kesedihan.
Melihat mimik muka anak semata wayangnya, emak langsung mendekat, “ada apa? Cerita sama Emak!”
Darul tetap bergeming tidak menjawab apa-apa. Air matanya berlinang membasahi pipinya yang masih merah karena sengatan matahari. Emak lalu bergegas menggandeng Darul ke ruang tengah. Sebuah ruangan kecil yang mereka namai ruang keluarga yang merangkap sebagai ruang tamu. Di sanalah mereka selalu berbagi cerita.
“Sepatu Darul sudah robek, Mak. Kaki Darul juga sakit karena sepatunya sudah kekecilan,” ucap Darul sedikit berbohong. Soal teman-temannya yang mengejek, ia telah berjanji, tidak akan pernah menceritakannya pada emak.
Kepalanya menunduk tidak berani menatap sang ibu. Tangannya mengusap-usap telapak kakinya yang terasa kebas. Berjalan kaki setiap hari dengan sepatu yang kekecilan membuatnya harus merasakan sakit sepanjang hari.
Pernah suatu ketika ia membuka sepatunya dan memakainya ketika di sekolah, teman-temannya mengolok-olok Darul. Mengatauinya sebagai orang miskin, seperti baru saja terjadi. Namun terlalu jahat rasana, jika dirinya mengatakan kesakitan yang diterimanya kepada sang Ibu, perempuan terbaik yang telah rela banting tulang sendirian untuk menghidupi dan membiayayainya agar tetap sekolah.
Kadang ia merasa iri dengan teman-temannya. Yang perpi pulang diantar oleh ayah mereka menggunakan kendaraan pribadi. Uang jajan cukup, baju bagus, sepatu juga sering ganti. Tidak seperti dirinya. Baju lusuh, tas dan celana penuh dengan jahitan di beberapa bekas robekan.
Uang jajan, kadang ada kadang tidak. Jika hujan, maka Darul harus menahan lapar, demi agar bisa pulang naik angkot. Itu pun hanya cukup untuk setengah perjalanan.
“Maafkan Emak, Nak. Belum bisa membelikanmu sepatu baru,” ucap emak dengan nada pilu.
Hatinya begitu hancur mengingat dan memikirkan nasib diri. Seorang perempuan harus bekerja banting tulang untuk mencari sesuap nasi. Tenaga pun sudah tidak sekuat dulu karena memang emak punya penyakit mudah lelah. Entah apa namanya, orang bilang itu auto imun. Setiap kali terlalu lelah bekerja, maka badannya akan ambruk langsung sakit parah.
Karena tidak ingin itu terjadi, maka satu-satunya cara untuk mencari penghidupan adalah dengan hanya berjualan kue. Emak bisa mengatur waktu kapan bekerja dan kapan harus istirahat. Meskipun hasilnya hanya cukup untuk makan dan menyisihkan tabungan untuk bayar kontrakan. Setiap ahkir bulan merasa was-was, khawatir terusir dan tidak memiliki tempat tinggal.
“Doakan kue emak laku banyak ya, Nak,” ucap emak sambil menusap rambut anak semata wayangnya itu.
Darul tidak kuasa menahan tangis. Lalu ia berhambur memeluk tubuh ibunya, Seorang peremouan yang tidak pernah menyerah, berjuang untuk dirinya. Tidak peduli sakit melanda emak masih saja selalu memaksakan diri untuk bekerja.
“Tidak apa-apa, Mak,” jawab Darul seraya menelan ludah. Ada sakit yang teramat getir. Ketika membayangkan bahwa besok ia tidak bisa memakai sepatu untuk pergi ke sekolah. Apa harus memakai sandal? Apa yang akan dikatakan teman-temannya ketika melihat dirinya pergi sekolah hanya beralaskan kaki sebuah sendal jepit usang?
Apa yang akan dikatakan gurunya, tidakkah nanti malah dikategorikan melanggar peraturan sekolah. Haruskah besok Darul bolos sekolah?
Ah, tidak. Emak pasti akan semakin sedih. Biarlah besok tetap memakai sepatu robek itu.
“Mak,” ucap darus setengah berbisik di tengah pelukan ibunya.
“Iya, Nak?” tanya emak seraya melepaskan pelukan.
“Apakah bapak tidak pernah mengingatku?” tanya Darul dengan mata yang masih basah.
Emak tertegun. Sejenak memikirkan jawaban apa yang kira-kira tepat untuk dikatakan kepada anaknya. Mengingat sosok ayah Darul dan apa yang sudah terjadi di masa lalu dan yang dialaminya kini, membuat hatinya tersayat-sayat. Perih, bak luka disirami air garam.
“Emak tidak tahu persis bagaimana bapakmu mengingatmu hari ini, Nak. Yang emak tahu, ia sudah bahagia dengan keluarga barunya,” jawab emak pilu.
“Kenapa dia tidak mengirimi aku uang? Kan aku masih anaknya, Mak. Kata pak ustaz, nasab anak kepada bapak tidak akan pernah terputus. Darul punya bapak yang masih hidup, berarti seharusnya emak tidak sekeras ini berjuang untuk menghidupi Darul. Seharusnya Emak hanya bertugas menemani dan menjaga Darul. Bukan begitu, Mak?” tanya Darul. Tenggorokkannya tercekat. Terasa semakin sakit ketika ia mengingat kejadian tiga tahun lalu ketika ayahnya pergi meninggalkan mereka berdua begitu saja di rumah kontrakan.
Sejak itu emak selalu sakit-sakitan. Sekalin harus mencari penghidupan sendirian, emak juga pasti lelah hati dan pikiran memikirkan semuanya. Bapak pergi tiba-tiba, tanpa pertengkaran hebat dengan emak sebelumnya. Aneh memang.
Malam-malam sunyi, emak selalu memangis. Namun Darul tidak pernah berani menghampri untuk sekadar menghibur atau bertanya emak kenapa? Dirinya hanya memilih diam dengan tangis yang sama sakitnya dalam hati anak lelaki yang sudah ditinggalkan sosok ayah di usia kecilnya.
“Mak, Darul gak apa-apa hidup tanpa ayah. Darul juga gak mau ketemu lagi sama bapak. Biarlah bapak melupakan Darul, Darul tidak peduli lagi,” ucapnya. Air matanya berlinang deras sekali.
“Jangan mengucap begitu, Nak! Dia tetaplah ayahmu. Pertalian darah yang ada dalam tubuh kalian tidak akan pernah bisa terhapuskan dengan apapun. Kamu harus tetap menghormatinya.
“Tapi kemana saja bapak selama ini? Apa ia tidak tahu, bahwa anaknya perlu makan, minum, baju, sepatu, biaya sekolah dan lainnya? Darul lelah jalan kaki, Mak! Tidak kah ada uang sepeser dari bapak yang bisa membuat Darul bisa naik kendaraan umum seperti teman-teman?
Darul tidak minta diantar jemput dengan kendaraan pribadi. Darul hanya ingin diperlakukan sebagai anak. Biar bisa naik angkot. Darul juga ingin bisa jajan di sekolah, Mak,” ucap Darul sembari sesenggukan. Bahunya berguncang kencang. Pilu semakin memenuhi ruang tengah rumah petak yang mereka kontrak.
Hati emak semakin hancur. Rasanya ingin mengatakan dan menyampaikannya kepada mantan suami. Bahwa hidup tidak hanya asal makan. Bahwa mengurus dan menjaga anak bukan hanya urusan perut. Namun ada waktu, tenaga, dan pikiran yang teramat sangat tekuras.
Darul semakin tumbuh besar. Seiring dengan itu pakainnya pun butuh diganti. Kakinya semakin panjang, sepatunya pun harus berganti nomor. Pola pikirnya semakin maju, beranjak remaja, ia pun perlu dibuat percaya diri. Agar tidak menjadi bahan ejekan teman sebayanya.
Namun apa yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan yang memiliki tenaga lebih lemah dripada kaum laki-laki?
Lelaki ditunjuk sebagai imam yang wajib bertanggung jawab atas seluruh keluarganya. Semua kehidupan anak-anaknya sampai mereka akil balig dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Seorang Ayah sejatinya tidak boleh membiarkan keluarga dan keturunannaya berada dalam kemiskinan ilmu dan harta.
Layaknya orang dewasa semua anak pun memiliki banyak kebutuhan seiring dengan usia pertumbuhannya. Semakin beranjak dewasa, ia tidak lagi hanya cukup makan sepiring nasi lalu main dan tudur seperti anak usia balita.
Hati emak menangis. Doanya melangit berkali-kali. Sujud-sujud panjang penuh dengan permohonan. Berharap Allah melapangkan hati dan mendatangkan rejeki beserta keberkahannya.
Andai orang yang seharunya bertanggung jawab penuh atas Darul tidak menyadari kewajibannya untuk menghidupi dan membiayai Darul, maka tolonglah kuatkan pundak hamba-Mu ini agar tetap kuat mencari rejeki dan memaksimalkan ikhtiar untuk melakukan yang terbaik bagi hidup anak hamba, ya Allah.
“Kalau misal Darul berani, cobalah temui bapak, mintalah hakmu padanya,” bisik emak dengan suara parau.
Darul menggeleng. “Kenapa harus diminta, Mak. Orang yang bertanggung jawab dan tahu kewajiban tidak harus diminta untuk menunaikan tanggug jawabnya. Doakan saja Darul kuat, dan hebat seperti Emak. Biar Darul bisa mencari penghidupan untuk kita ke depan. Perjuangan emak sudah terlalu banyak. Besok Darul akan ikutan emak jualan kue keliling kampung,” ucapnya dengan mantap.
“Benarkah?” tanya emak meyakinkan.
“Iya, Mak. Darul akan ikut bekerja keras. Kita tunjukkan kepada bapak, bahwa kita bisa tanpa dirinya. Kita harus hidup cukup, Mak. Biar bapak malu dan repot dipinta pertanggungjawaban sama Allah nanti di akhirat,” Darul mengumpat.
“Siapa yang mengajarimu berkata demikian?” tanya emak dengan nada yang tegas. Tergambar jelas bahwa dirinya tidak suka Darul berkata hal demikian.
“Tidak seorangpun mengajarkanku begini, Mak. Apa yang Darul rasakan dan alami, apa yang Darul lihat dari bapak, itulah yang membuat Darul seperti ini,” jawabnya.
“Jangan pernah membenci bapakmu!” ucap emak lagi.
“Tidak, tapi bapak mengajarkan Darul untuk membencinya,” jawabnya.
“Darul!” suara emak meninggi.
Darul menunduk. Air matanya meleleh lagi. Tangisannya pecah. Sikap kekanak-kanakkannya muncul lagi setelah sejenak seolah menjelma sebagai orang dewasa yang bijak.
“Mak, maafkan sikap Darul. Sebisa mungkin Darul tidak akan pernah membenci bapak. Namun buat Darul, ayah terbaik adalah emak. Emak yang mencari nafkah, Emak yang selama ini telah menghidupi Darul tanpa harus Darul minta. Emak lah yang selalu tahu apa yang Darul butuhkan walaupun tidak selalu langsung mengabulkan, tetapi emak selalu berusaha dan mengerti anaknya.
Emaklah yang selama ini sudah menjadi tulang pungguung. Darul ini laki-laki, Mak. Darul akan bantuin Emak,” ucap Darul seraya mengusap air matanya.
“Hayu, Mak!” ucapnya lagi sambil berdiri yang menarik tangan emaknya.
“Mau kemana, Nak?” tanya emak.
“Kita selesaikan bikin kuenya, Buat yang banyak ya, Mak! Biar Darul bantu jualan,” katanya.
“Sepatu kamu gimana?” tanya emak.
“Lupakan soal sepatu, Mak. Ayo kita ke dapur!” jawabnya sambil berlari masuk dapur.
Emak tertegun. Perlahan ia mengucap sebaris doa. Lalu menyeka ujung matanya dengan tangan yang semakin kurus kering.
Ya Allah, kuatkan kami. Kuatkan bahuku, kuatkan pula imanku agar tidak pernah menyerah pada keadaan. Agar tetap yakin akan pertolongan Engkau. Karena Engkaulah sebaik-baiknya penolong.
“Mak, ini perasan santan masuk wadah yang mana?” teriak Darul dari dapur.
Emak tersadar dari lamunannya lalu bergegas menghampiri Darul melanjutkan mengolah kue.
Asap mengepul ke langit-langit, wangi adonan kue tercium begitu lezat. Ada secercah harapan yang muncul dalam hati seorang perempuan yang berperan ganda, sebagai ibu sekaligus sebagai ayah.
Ada tekad yang bulat dalam hati anak laki-laki yang mulai beranjak dewasa. Ia tidak akan pernah membiarkan ibu yang sekaligus sebagai ayahnya berlelah-lelah sendirian. Meskipun tidak banyak yang bisa ia lakukan, tetapi sekuat tenaga akan senatiasan menjaga ibu dan “ayah”nya hingga sampai kapanpun.
“Mak…”
“Iya, Nak…?”
“Darul sayang sekali saya Emak.”
“Iya, Nak. Emak juga sayang sekali sama kamu.”
+ There are no comments
Add yours