Kategori amalan dalam Islam; jika ingin dilihat namanya riya. Jika ingin didengar itu namanya sum’ah. Nah jika ingin dibaca (karena dalam bentuk tulisan) itu namanya apa?
Sampai tulisan ini kelar, saya belum menemukan jawaban yang tepat terkait pertanyaan yang menggelayut di otak. Dalam konteks Islami, jika tulisan kita ingin dibaca untuk mendapatkan pujian atau pengakuan dari orang lain, maka hal itu juga dapat dianggap sebagai riya. Jadi, karena proses membaca ini perlu melihat (harus kasat mata dan kasat jasad) maka (sebelum ada pengentahuan baru) tulisan/postingan yang ingin diperhatikan, dilihat, dan dibaca, termasuk perbuatan riya. Riya diartikan sebagai tindakan melakukan sesuatu dengan tujuan dilihat, dibaca khalayak atau oleh orang yang terkait dalam rangka memperoleh pujian atau pengakuan dari orang lain, bukan semata-mata karena niat yang ikhlas untuk Allah.
Pada akhirnya semua berpulang kepada niat yang tertanam dalam hati. Dalam semua hal-pun, hati memegang peranan kunci. Bahkan saking utamanya urusan hati, Nabiyallah, Muhammad SAW bersabda;
… Ketahuilah bahwa dalam jasad itu ada mudghah (segumpal daging), apabila dia baik, maka akan baiklah seluruh tubuhmu namun apabila dia rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumbal daging itu adalah hati.
Dalam amalan Islam, apapun yang diucapkan dengan lisan, diisyaratkan dengan anggota tubuh, dan digoreskan oleh pena, semua itu merupakan terjemahan dari keinginan hati. Lisan atau tulisan melalui goersan pena adalah juru bicara hati.
Jadi hati-lah sumber pesan dan sumber kehendak itu. Hati yang baik, akan memproduksi pesan-pesan yang indah, menyejukkan, menentramkan dan membahagiakan. Sedangkan hati yang fasad (dendam, kecewa, marah, membenci), otomatis akan menebarkan aroma tidak sedap dan menyakitkan kepada pembaca atau orang yang dituju/orang terkait dengannya.
Dampak dari keduanya (hati baik dan hati fasad) nya-pun berpengaruh sangat besar. Dampak dari pesan baik akan menembus relung-relung hati pembacanya sehingga goresan pena itu diterimanya dengan perasaan gembira penuh optimisme. Sebaliknya kata-kata fasad, sarkastis yang bisa menusuk hati orang terkait, malah menimbulkan luka mendalam karena “ter-sleding” perasaan. Di sinilah kita mesti hati-hati dalam menulis, memposting gambar, quot baik di Media Baru (Media Soosial) atau media lainnya. Niatkan dalam hati bahwa pesan yang disampaikan adalah ikhlas semata-mata karena Allah untuk kebaikan. Bukan untuk menyampaikan perasaan kecewa, marah atau kebencian, supaya orang yang ditujunya terhina bahkan jatuh harga dirinya.
Perlu pertimbangan matang-matanf dan hati-hati untuk mengungkapkan kekecewaan terhadap seseorang yang berpotensi menyakiti hati orang tersebut. Islam mengajarkan pentingnya memperlakukan orang lain dengan kasih sayang, keadilan, dan kesopanan. Menghargai dan menghormati perasaan dan martabat orang lain adalah nilai penting yang mulia dan agung dalam agama. Apalagi jika disampaikan kepada orang yang pernah membersamainya dalam kurun waktu tertentu. Padahal mungkin selama jalinan itu ada, di sana terdapat kebaikan-kebaikan yang bisa diambil nilai dan hikmahnya. Adapun kejelekannya, cukuplah disimpan, kalau ada ruang waktu bisa dibicarakan jalan keluarnya. Tidak baik jika kejelekan itu diumbar di ruang publik menjadi konsumi umum. Baiknya sama-sama menjaga hati supaya jangan sampai menyakiti seseorang karena sejatinya manusia itu adalah musafir yang tengah berlomba mengumpulkan bekal kebaikan untuk dibawa mudik ke kampung halaman abadi, yaitu alam baqa.
Namun, jika keadaan memaksa untuk mengungkapkan kekecewaan melalui tulisan, penting untuk menjaga bahasa yang sopan dan tidak menyakiti hati orang tersebut secara langsung. Mengungkapkan perasaan dengan bijaksana dan menghindari menggunakan kata-kata yang menyerang atau merendahkan harga diri adalah penting.
Beberapa kejadian yang menunjukkan sikap di atas sudah banyak dijumpai baik oleh kelompok maupun perorangan. Mafhum. Karena kekecewaan diri adalah perasaan negatif yang muncul ketika seseorang merasa tidak puas dengan diri sendiri atau merasa kecewa terhadap tindakan atau keputusan yang telah diambil di masa lalu. Kekecewaan diri dapat muncul dalam berbagai konteks, baik pada tingkat kelembagaan maupun perorangan, termasuk dalam hubungan asmara yang berakhir seperti putus cinta atau perceraian.
Kekecewaan diri dalam konteks kelembagaan dapat terjadi ketika suatu lembaga atau organisasi menghadapi kegagalan atau kesalahan dalam pencapaian tujuan, penerapan kebijakan, atau pengelolaan yang efektif.
Adapun Kekecewaan diri perorangan sering kali terjadi dalam konteks hubungan pribadi, mahasiswa dengan dosen, anak dengan orangtuanya, kakak dengan adiknya, wanita dengan pasangannya terutama saat mengalami putus cinta atau perceraian. Setelah hubungan berakhir, seseorang dapat merasa kecewa dengan mempertanyakan keputusan yang telah diambil, atau merasa bahwa mereka telah membuat kesalahan yang signifikan. Mereka mungkin merasa gagal dalam mempertahankan hubungan, memahami kesalahan yang dilakukan, atau menyesali tindakan atau perilaku yang mungkin telah merusak hubungan tersebut.
Dalam kedua konteks tersebut, seringkali kekecewaan diri memicu pengungkapan dan pengulangan kesalahan di masa lalu. Seseorang mungkin cenderung mengungkit kesalahan yang telah dilakukan, membenamkan diri dalam rasa bersalah, atau mempertanyakan kemampuan dan nilai diri sendiri. Hal ini dapat menghambat proses penyembuhan dan pemulihan.
Penting bagi seseorang yang mengalami kekecewaan diri untuk memahami bahwa manusia tidak sempurna dan semua orang melakukan kesalahan. Penting juga untuk memberikan ruang bagi diri sendiri untuk belajar, tumbuh, dan memaafkan diri sendiri juga memafkan pasangannya.
Ajaran Islam telah menghimbau untuk selalu menjaga adab dan etika, terutama dalam menyikapi hubungan dan masa lalu yang telah berlalu. Penting untuk mencoba memahami bahwa setiap hubungan memiliki sisi positif dan negatifnya. Mengenang dan menghargai jasa-jasa mantan pasangan yang pernah ada adalah bagian dari sikap bijaksana dan menghormati pengalaman yang telah dilalui bersama.
Mengungkapkan rasa sakit, kekecewaan, dan frustrasi adalah wajar setelah putus hubungan, tetapi penting juga untuk tidak terperangkap dalam sikap negatif secara berkelanjutan. Seiring waktu, mencoba untuk memaafkan dan melepaskan dendam, serta memfokuskan diri pada pertumbuhan pribadi dan kebaikan yang ada dalam diri sendiri, adalah langkah yang dapat membantu dalam proses penumbuhan, penyembuhan dan pemulihan.
Akhirnya, mari kita renungkan. Adakah cuitan kita di media sosial dan aplikasi pesan mengandung nilai kebaikan yang bisa membangun hubungan sehat, menghormati perasaan orang lain, mempromosikan perdamaian, dan menjadi teladan yang baik? Atau malah bebas menyerang, menghina dan menyombongkan diri yang tak perlu? Saya yakin, kita dapat menciptakan ruang yang lebih harmonis dan positif di dunia digital. Wallahu’alam bish-shawab.
"Semua konten menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi RuangPena."