Kekinian istilah childfree yang sedang ramai dibicarakan. Menjadi sebuah kata populer yang diketik di mesin pencarian. Terlebih karena postingan seorang influencer Gita Savitri telah berhasil memantik bahasan ini sejak beberapa pekan lalu.
Terlepas dari siapa yang sepakat dan tidak pada paham ini, sejatinya sebuah pemahaman tidak perlu dipaksakan untuk menjadi pemahaman dan atau prinsip banyak orang. Jika ada yang merasa aman dan nyaman dengan tidak memiliki anak selaiknya cukup dirasakan oleh diri sendiri, tidak perlu diumbar sehingga menimbulkan keresahan masal.
Nikmati saja kebebasan hidup sendirian tanpa digelayuti oleh anak-anak ketika bepergian. Tanpa harus merasakan mual muntah ketika dinyatakan hamil trimester pertama, tidak merasakan repot begadang ketika harus menyusui bayi, menggantikan mereka popok, menyuapi makan dan segala sesuatu yang dianggap hal merepotkan lainnya sebagai akibat dari memiliki anak dan keturunan. Nyatanya bagi sebagian besar perempuan kerepotan itu justru dipandang sebagai bukti kesempurnaan seorang perempuan. Bisa mengandung dan melahirkan.
Simpan saja prinsipmu. Jangan memengaruhi pihak lain dengan sesuatu yang dianggap benar oleh diri sendiri. Di luar sana mungkin ada beberapa yang terpengaruh, sebelummnya tidak memiliki pemikiran demikian, menjadi terpengaruhi dan berpendapat bahwa hal tersebut adalah hal yang banar. Padahal dalam agama Islam setiap pernikahan yang terjadi selain karena bagian dari ibadah untuk menghindarkan diri dari bahaya dosa zina dan menyempurnakan separuh agama, tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk melahirkan keturuan-keturunan yang taat dan patuh kepada Allah SWT. Karena anak adalah bagian investasi para orangtua untuk menjadi penolongnya di akhirat kelak ketika seorang anak menjadi anak yang saleh dan salihah.
Lantas, ketika paham tersebut mendarat di kelompok yang antipati dan sama sekali tidak sepakat, maka ramailah jadinya. Pihak yang memposting lebih dulu menjadi sasaran kemarahan dan caci maki para netizen. Banyak orang yang akhirnya tidak dapat menjaga lisannya.
Namun banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari kejadian ini. Banyak orang yang tadinya tidak paham apa itu childfree menjadi banyak mendapatkan wawasan karena bahasan ini menjadi booming. Mulai dari apa itu childfree, bagaimana hukumnya dalam agama Islam terutama, sampai kepada tentang bahasan kiat awet muda dan lain sebagainya menjadi banyak berterbaran karena bahasan childfree tersebut.
Bagaimana dengan mereka yang memang selama ini sangat menantiakan kehadiran buah hati? Ini akan lain lagi ceritanya. Mereka pasti merupakan kaum yang menolak keras gerakan chilfree karena bagi mereka kehadiaran anak adalah seuatu yang sangat ditunggu-tunggu. Dinanti-nanti dengan terus memanjatkan doa tanpa henti. Ikhtiar pengobatan pun dilakukan berkali-kali demi agar mendapatkan bayi yang tumbuh di dalam rahim seorang istri.
Belum lagi, Ramadan sudah di depan mata. Sebentar lagi musim mudik lebaran tiba. Kaum pasangan suami istri baik yang baru menikah maupun yang sudah lama menikah, akan dibombardir dengan banyak pertanyaan seputar momongan. Ya, para tetangga dan sanak saudara di kampung halaman memang begitu. Mana peduli mereka dengan istilah childfree? Kalaupun ada, mereka tidak akan pernah berani memproklamirkan dirinya. Paling sebatas belum siap dan sedang menimbang risiko semata.
Pengantin baru akan ditanya dengan pertanyaan, “Sudah isi apa belum?” Yang sudah lama menikah akan ditanya, “Kapan punya anak?” Sementara yang sudah punya sekalipun masih ditanya, “Kapan mau nambah? Sudah pantas dikasih adik,” katanya.
Lantas ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu, apakah harus dijawab dengan gerakan childfree? Tantu saja tidak.
Di kampung halaman mungkin saja mereka mendengar di berita dan di media sosial. Namun di kampung halaman yang masih asri dan masih menjunjung tinggi bibit, bebet dan bobot poertanyaan kapan punya anak akan tetap terdengar di telinga sebagai momok yang cukup menakutkan bagi para pejuang garis dua. Akan tetapi, pertanyaan sepeti itu adalah bukti, bahwa chilfree masih sangat jauh dari pemikiran orang-orang di daerah.
Maka dari itu, enyah lah paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Kalaupun memiliki prinsip menunda, tidak perlu terlalu bersemangat untuk menularkannya kepada orang lain. Tidak semua yang kita anggap benar harus menjadi kebenaran masal yang wajib diterima oleh senua orang. Kadang rasa nyaman dan aman yang kita rasakan cukup untuk dirasakan sendiri dala hati saja, jadikan itu sebagai privasi.
+ There are no comments
Add yours