
Semua manusia harus berusaha untuk menolong hidupnya. Mempersiapkan kematian agar berada dalam keadaan baik ketika kelak bertemu Tuhan-Nya. Tidak terkecuali dengan urusan hasrat yang sejatinya harus bisa dibendung dan tetap dalam jalan yang seharusnya. Seperti kisah cintaku yang berawal dan berakhir karena-Nya meskipun cara tempuhnya tidak bisa diterima oleh orang yang hanya menonton dari bagian luarnya saja.
Sejak dulu aku selalu belajar merelakan. Sampai kini akhirnya aku harus kembali melihatnya. Iya, aku jelas-jelas melihatnya. Perempuan itu masih cantik dan anggun seperti dulu ketika untuk pertama kali aku melihatnya berdiri bersebelahan dengan mas Hasby.
Kala itu ada pengajian akbar di sebuah masjid besar yang menghadirkan penceramah kondang. Seperti biasa mas Hasby memintaku hadir, “agar ilmu agama dan keimananmu bertambah,” katanya.
Sebagai istri, aku manut saja. Sebab memang benar aku ini masih sangat jauh dari kata dewasa meski usia sudah lebih dari kepala tiga.
Dengan riang hati, aku mengenakan gamis terbaik, baju pemberian mas Hasby pada lebaran lalu. Baju yang dihadiahkannya kepadaku, dan kuanggap sebagai baju kebesaran yang sangat sakral. Sebuah nafkah sandang dari seorang suami. Terang saja aku sangat percaya diri kala itu, mengenakan pakaian terbaik yang pernah membuat mas Hasby mengungkapkan pujiannya kepadaku, “warnanya cantik, kamu memang pandai memilih dan memadu padan pakaian,” katanya. Karena memang walaupun itu hadiah, mas Hasby memberikan beberapa opsi pilihan sebelum akhirnya membelikannya untukku.
Aku dan mas Hasby tinggal terpisah. Dengan terpaksa harus menahan jutaan rindu yang hanya bisa kami ungkapkan setiap beberapa pekan sekali saja, karena mas Hasby harus mengajar di sebuah kampus terkenal yang letaknya jauh dari tempat tinggalku, sementara aku pun belum siap meninggalkan pekerjaanku saat itu.
Aku merasa cantik sekali hari itu, karena aku tahu mas Hasby pun akan selalu menyukaiku. Namun ketika aku melihat perempuan itu berdiri di sebelahnya dengan anggun, rasa percaya diriku menurun drastis. Mbak Maya begitu cantik dengan baju tunik motif floral yang manis. Ya, tentu saja sangat jauh berbeda dengan seleraku. Aku sendiri tidak begitu menyukai motif bunga dan lebih memilih warna-warna yang lebih netral seperti coklat, hitam, krem dan sejenisnya.
Mbak Maya adalah perempuan yang diceritakan kepadaku sebagai masa lalunya. Aku berhasil diyakinkannya bahwa hanya aku satu-satunya kala itu. Meskipun lelaki yang akan menikahiku memiliki masa lalu dengan perempuan lain dalam sebuah ikatan pernikahan, karena kebaikan dan ketulusan mas Hasby aku menerimanya sebagai suami dengan penuh suka cita. Karena bukan hanya baik hati dan penyayang, mas Hasby pun memenuhi kriteria lelaki yang ingin kujadikan sebagai imam. Soleh, cerdas, berwibawa dan selalu bijak dalam mengambil keputusan. Belum lagi jika aku melihatnya sedang berbicara di depan umum, tidak perlu terlalu banyak gaya, semua orang telah terbius oleh pesonanya. Kemampuan publik speakingnya memang luar biasa. Ya, meskipun kadang mas Hasby masih senang menggunakan istilah bahasa daerah dalam pembicaraan resminya. Berkali-kali aku mengingatkan, tetapi itu hanya membuatnya tertawa. Tawa khas yang selalu aku rindukan bahkan sampai detik ini ketika aku mengingat sosoknya.
Mas Hasby tampak kikuk ketika melihatku berdiri di hadapannya. Aku baru tahu, ternyata mas Hasby dan mbak Maya masih sedekat itu. Dia bilang, mereka sudah lama pisah sebelum menikahiku. Melihat mbak Maya berdiri begitu dekat, tidak perlu berpikir yang terlalu serius dengan berbagai analisis yang mendalam, aku sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa mereka memang memiliki kedekatan (yang kembali) spesial.
Aku menelan ludah menahan sakit yang terasa mencekik tenggorokan. Bagaimana bisa, aku diminta datang ke kajian sementara dia membawa mbak Maya di kajian yang sama. Niatku menuntut ilmu syar’i nyaris saja batal. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dada. Ingin rasanya aku menjerit sejadinya ketika aku melihat mas Hasby malah menggendong anak lelaki yang wajahnya sangat mirip dengannya. Kedekatan dan ikatan emosional bapak dan anak di antara mereka pun semakin kentara.
Aku sudah tidak tahan lagi melihat pemandangan itu. Terlebih memang aku belum memiliki anak dari mas hasby. Kasih sayang mas Hasby pasti tidak akan terbagi untuk buah hatinya itu. Aku sendiri tidak bisa membayangkan andai dalam perutku tumbuh benih cinta dari mas Hasby, akankah ia memperlakukan anaknya seperti ia memperlakukan anak lelaki yang kini dalam pelukannya itu?
Didesak rasa cemburu yang tidak karuan, aku menjauhkan diri dari mereka tanpa sanggup menghampiri mas Hasby suamiku sendiri. Dalam hati, aku merasa harus menjaga perasaan mbak Maya yang sebenarnya entah sebagai siapanya mas Hasby saat itu.
Sambil menahan isak tangis yang hampir meledak, aku melihat mas Hasby dan mbak Maya berpisah di pelataran masjid karena memang tempat duduk jamaah lelaki dan perempuan terpisah. Anak lelaki itu mengikuti mas Hasby, memegangi telunjuk tangan suamiku dengan eratnya.
Mbak Maya sendiri ternyata duduk tidak jauh dari tempat aku duduk. Selama kajian berlangsung, jujur aku tidak begitu banyak menangkap apa yang disampaikan oleh pemateri. Aku malah sibuk mencuri pandang ke arah perempuan berpakaian motif bunga yang cantik itu. Menghitung jumlah bunganya, mengamati bros hijabnya yang berukuran besar, hidungnya yang mancung tampak indah jika tampak samping, dan sosoknya yang sedang mengamati kajian dengan begitu serius.
Dalam hati aku berbisik, tidakkah mbak Maya menyadari bahwa akulah sebenarnya orang yang selama ini mencintai mas Hasby dengan sepenuh hati. Perempuan yang juga merindukan mas Hasby setiap malam dan membutuhkan penjagaan, perlindungan serta segala hal yang dibutuhkan perempuan dari sosok seorang suami.
Mbak, mbak pun pasti merasakannya kan? Bahkan jauh lebih dulu sebelum aku menjalani semua ini.
Hati dan pikiranku kacau. Ingin rasanya segera mengintrogasi mas Hasby tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah mereka memang diam-diam rujuk? Atau memang selama ini telah membohongiku? Apa benar dia memang tinggal di luar kota atau hanya membohongiku agar aku bisa diam tanpa selalu meminta pertemuan?
Aku memejamkan mata berkali-kali berusaha mengusir kisruh di kepalaku. Serta berusaha menghilangkan sosok mbak Maya yang selalu terlihat meskipun aku memejamkan mata rapat-rapat. Sampai tiba-tiba aku merasakan getaran dari ponselku yang ada di dalam tas.
Mas Hasby mengirim sebuah pesan, “Sayang, maafkan Mas ya. Hari ini datang ke kajian gak bilang kalau Mas sama mereka. Nanti juga maaf, kalau Mas gak bisa anterin kamu pulang. Sebab Mas harus anter Maya dan Mada pulang ke stasiun selepas kajian ini.” Aku hanya membacanya. Lalu menyimpan kembali ponselku dengan perasaan yang campur aduk. Ada perih yang teramat perih dalam hati yang tidak mungkin aku ceritakan kepada mas Hasby hari ini. Aku tidak tahu, apakah aku mampu membendung segala emosi yang ada jika aku menceritakan perasaanku saat itu juga.
Selesai kajian, hujan turun cukup deras. Aku melangkahkan kakiku menjauh dari pelataran masjid besar itu, meskipun gamisku harus basah kuyup. Rasanya aku ingin menyengaja berjalan di bawah hujan agar semua orang tak perlu tahu kalau air mataku jatuh, jauh lebih deras daripada hujan yang turun sore itu. Sementara mas Hasby, kulihat masih berbasa-basi dengan beberapa petinggi yang hadir ke acara kajian. Maklim mas Hasby adalah orang yang cukup memiliki nama di kalangan pejabat dan para ulama. Tidak lupa, mbak Maya tetap setia mendampinginya dengan anak lelaki yang wajahnya mirip sekali dengan mas Hasby itu.
**
Sejak kejadian itu, mas Hasby semakin banyak berkilah. Membohongiku dengan berbagai dalih. Dan anehnya aku terus menerus berlagak percaya padahal aku tahu semua taktiknya. Mas Hasby mendua, dan aku malah merasa kasihan kepadanya. Tentu saja sama kasihannya kepada mbak Maya.
Berulang kali mas Hasby menyatakan niatnya untuk memperbaiki diri, berusaha menyeimbangkan hak, tetapi tetap saja rasa cinta dan kebutuhan akan kehadirannya dalam diriku mendorongku untuk mengatakan kata “tidak” sebagai jawaban dari ajakan mas Hasby untuk melanjutkan biduk yang sudah terlanjur kami mulai.
“Untukku, hanya ada dua pilihan, satu atau nol. Tidak ada setengah-setengah. Jika aku tidak memilikimu, maka aku lebih memilih merelakan mu. Daripada aku harus memilikimu separuhnya saja, Mas,” ucapku kala itu.
Mas Hasby bergeming dalam kebimbangan. Aku tahu, di kepalanya berkecamuk kekacauan yang bahkan jauh lebih kacau jika dibandingkan dengan kekisruhan yang sering hinggap di kepalaku. Susah sekali memang, merelakan cinta kandas ketika sedang sayang-sayangnya. Apalagi dibangun dengan cara yang tidak mudah.
“Aku tidak mau sakit lagi, aku tidak mau hidup dalam angan-angan dan pengandaian yang aku tahu jauh dari perwujudannya. Aku ingin hidup dalam dunia yang lebih nyata. Aku tidak ingin membuang waktu dalam harap yang tak pasti. Biarlah hanya cintaku padamu yang benar-benar kekal, Mas. Kisah kita mungkin cukup sampai di sini. aku merelakan mu kembali kepada mbak Maya.”
Aku mengucapkannya dengan tangisan yang berderai-derai. Disaksikan oleh mas Hasby yang semakin bisu tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi. Aku sangat yakin, ia pun tengah berusaha keras membendung tangisannya.
Dengan berjuta drama yang terjadi dan berjubel pertanyaan “mengapa” dari mas Hasby, aku memilih pergi dengan cara yang mungkin terlalu menyakitkan untuknya. Tanpa menunggu persetujuan mas Hasby dan membiarkannya merelakan hubungan ini. Namun aku pun sama saja, rasa sakit yang selalu bercampur dengan rasa sayang dan entah apa, masih saja terasa tidak pernah sirna.
Dan kami pun berakhir tanpa rela yang benar-benar lela. Dan terutama aku, harus terus belajar sepanjang masa untuk merelakan itu semua.
**
Hari, pekan, bulan dan tahun berganti. Aku semakin merelakan dan berdamai dengan keadaan. Berjalan di dunia nyataku sendiri tanpa kehadiran mas Hasby. Berusaha untuk lebih mencintai diriku sendiri dan bahagia dengan semua anugerah dan karunia-Nya yang kuyakini memang di sinilah seharusnya aku ada. Bersama mereka yang mencintaiku sepenuhnya, bukan karena aku habis-habisan mencintai mereka. Karena nyatanya hidup dengan orang yang mencintaiku pun sudah lebih dari cukup untuk merasa aman dan terlindung dari kerasnya dunia.
Syukurku tidak akan pernah lekang. Pintaku hanya satu kepada Tuhan; aku tidak ingin mati dalam kebencian yang menguasai dadaku. Aku ingin hidup damai hanya untuk Tuhan dan kembali kepada Tuhan seutuhnya.
Aku telah bertekad, jika memang mas Hasby dan mbak Maya belum selesai, apa salahnya jika aku mengalah dan membiarkan kisah mereka berakhir baik sampai hanya maut memisahkan. Siapa yang tahu, jika mbak Maya memang bercita-cita jika mas Hasby lah yang menjadi suaminya di surga kelak? Sama seperti cita-citaku dulu.
Siapa yang tahu, bahwa mas Hasby lah satu-satunya tumpuan hidup mbak Maya meskipun ia mampu mencari pengganti puluhan lelaki terbaik di luar sana? Seperti yang aku rasakan pula kala itu. Meskipun ada beberapa yang datang menawarkan cinta, entah mengapa harus mas Hasby sebagai pemenangnya.
Aku tahu, tidak akan pernah ada perempuan yang benar-benar merelakan 100% jika harus berbagi suami dengan orang lain. Akhirnya karena aku menyayangi nasib kehidupan mas Hasby yang lebih jauh, aku relakan mas Hasby kembali dengan mbak Maya. Daripada ia harus menemui Tuhan dalam keadaan sebagian tubuhnya miring karena tidak mampu bersikap adil selama menjadi suami kepada istri-istrinya.
Kini aku kembali melihat mbak Maya yang cantik dan anggun itu berdiri dengan penuh percaya diri di samping mas Hasby. Dengan baju yang nyaris sama dengan yang dikenakannya saat pertemuan kali pertama itu. Senyum yang sama, dan tentu saja hidungnya yang mancung begitu indah jika tampak dari samping.
Mungkin mereka tidak akan pernah terpisahkan lagi oleh benteng asa yang pernah menjadi pengganggu seperti kala itu. Melihat itu semua, aku hanya bisa tersenyum antara bahagia dan kehadiran secuil kegetiran.
Meskipun begitu, aku selalu menyelipkan doa yang tidak pernah terhenti, semoga Tuhan tidak pernah memisahkan tali kasih di antara mbak Maya dan mas Hasby. Pun tidak membuat mas Hasby berbadan dan berpundak miring saat bertemu dengan-Nya di akhirat nanti.
Baik-baik di sana, Mas. Aku telah berjuta kali berusaha merelakan mu.