Beberapa hari tidak mendapatkan kabar dan tidak bertemu Bayu membuatku sadar, bahwa agar kembali bersemangat, aku hanya perlu bersama Bayu.
“Istirahat, Tania. Sudah malam. Medsosmu masih online tuh!”
Chat Bayu di telegram.
Akhirnya ia menyapaku lagi. Bibirku tersungging. Sambil menahan sakit di perutku yang baru saja berkurang karena makan obat.
“Iya sebentar lagi. Perutku belum reda.” jawabku.
“Apa kamu sakit lambung lagi? Makan mi instan ya?” tanya Bayu.
“Enggak, kok.”
“Apa yang terasa sekarang?”
Selalu seperti itu. Bayu yang rajin bertanya kabar, tidak berubah sejak dulu. Apapun kondisinya selalu menyempatkan untuk mengabari atau bertanya kabar tentangku. Walaupun, ….
Aku dulu memang sering sakit lambung. Karena pernah menjalani operasi dan harus puasa dalam waktu yang lama sebelumnya. Belum lagi, setelah proses operasi aku tidak segera buang gas, akibatnya dokter hanya mengizinkanku minum satu sendok makan per satu jam, sampai akhirnya bisa kembali buang gas lagi.
Aku berpikir, bahwa sehat itu benar-benar berharga. Untuk sebuah kentut saja harus menahan diri dan mengorbankan yang lainnya. Harus rela menambah jam puasa sampai dua hari lamanya.
Kosongnya lambung dalam waktu yang lama membuat aku terkena tukak lambung. Belum lagi, ketika perlahan berangsur pulih, aku jadi lebih banyak mengkonsumsi mi instan.
Sebagai anak kostan, mi instan adalah makanan wajib yang harus ada di kotak persediaan makanan. Selain karena praktis, harganya pun ekonomis. Namun aku mendapatkan akibatnya. Penyakit lambungku sering kumat. Mual, muntah sampai pusing keleyengan. Jika aku ngajak tukeran sama kalian untuk sama-sama merasakannya pasti kalian gak akan mau. Ya, kan?
Pernah beberapa kali pergi ke dokter. Sarannya tetap sama. Hindari mi instan, makanan asam, dan pedas. Dalam hati menggerutu, bagaimana mungkin aku menghindari semu itu? Makanan kesukaanku kan yang model begitu.
Huh! Rasanya serba salah. Kalau misal tidak makan dengan makanan pedas, nafsu makanku hilang dan semakin berantakan. Justru aku akan sangat kurus kering jika makanan-makanan itu tidak lagi bisa ku nikmati.
Ayah dan ibuku pun sama cerewetnya dengan dokter. Selalu bertanya ini itu perihal makanan. Menyarankan untuk menjaga diri agar tidak tergoda ini dan itu yang bisa jadi biang kerok masalah lambungku lagi.
Aku yang begitu suka makan rujak, apalagi mangga muda, jambu kristal, dan buah kedondong geprek, sering disebut sedang ngidam. Padahal ngidam apanya, pasangan saja aku tidak punya.
Menjomblo bertahun-tahun setelah putus ditinggal nikah sama tunangan, bukan hal yang mudah. Aku nyaris tidak bisa lagi membuka hati untuk laki-laki lain, tentunya sebelum Bayu datang. Rasanya luka itu masih perih. Seperti dicabik pisau lalu disiram air kuah rujakan yang sering aku makan.
Pola makanku pun sering tidak beres. Sampai sekarang pun belum beres.
Masalah asmara, masalah pekerjaan, lingkungan yang toxic, dan hal-hal lain yang sering mengganggu pikiranku menjadikanku merasa menjadi orang yang sebetulnya tidak boleh ada di dunia ini.
Sebutan perawan tua, gak laku, sampai dicap sebagai seorang yang pemilih. Serba salah memang. Dandan cantik disebut sebagai penggoda, berpenampilan seadanya dibilang gak pandai merawat diri. Lalu apa yang harus dilakukan? Emak-emak para istri yang suaminya berinteraksi denganku selalu risau, tak jarang mereka nyinyir di belakangku, membuat kepalaku semakin jelimet saja. Mereka tidak pernah tahu seberat apa kehidupan yang kujalani.
Akan tetapi, lagi-lagi Bayu yang mengingatkan. Bahwa aku tidak perlu memedulikan omongan orang.
“Ikuti kata hati, Tania. Kalau terus menerus mengikuti kata orang lain, maka kamu tidak akan pernah bisa menikmati hidupmu sendiri.”
Bayu juga yang sering mengingatkanku soal menjaga kesehatan. Walaupun dilakukan dari jarak jauh, alias hanya chatingan, Bayu berhasil memberikan warna baru dalam kehidupanku.
“Baik-baik jaga kesehatan ya, Tania. Sekeras apapun usahamu untuk mengejar impian jika kamu melupakan kesehatan, maka usahamu sia-sia. Langkahmu lambat, usahamu terhambat.”
Kalimat Bayu memang selalu menenangkan. Dia orang yang membuatku memiliki semangat kembali menjalani hidup. Mencoba bangun dari keterpurukanku. Aku juga tidak sadar, sejak kapan Bayu berhasil mencuri hatiku sedikit demi sedikit sampai akhirnya bisa dimiliki semuanya.
Aku tidak bisa membohongi diri sendiri, selain beban hidup yang menumpuk di kepala, setiap malam aku pun melamun, memikirkannya tanpa ujung. Memikirkan kebaikannya, mengenang senyumannya, dan memikirkan, …. Yoana, gadis cantik yang selalu Bayu pikirkan meskipun sedang bersamaku.
“Mungkin ginjalnya kena, banyak minum ya!” saran mantri di klinik dekat rumahku.
Menyalakan alarm pengingat minum adalah satu-satunya hal yang mungkin kulakukan. Berhubung, aku hidup di kost-kostan hanya sebatang kara. Bertemu dengan tetangga hanya seperlunya saja. Bayu pun tidak bisa menjagaku. Terlebih siapalah aku untuknya? Sekali lagi, sebesar apapun kepeduliannya kepadaku, selalu ada Yoana di sebrang sana, yang menunggu Bayu menemuinya dengan cepat.
“Aku tunggu di tempat biasa, kita makan bareng ya!” samar-samar terdengar suara lembut Yoana meminta Bayu segera memenuhi permintaannya. Bayu pun tidak pernah menunda. Memenuhi keinginan Yoana adalah prioritasnya.
Setelah berbulan-bulan aku mengatur dan menambah minum, penyakitku tidak juga mereda. Akhir-akhir ini penyakit yang kurasakan semakin aneh saja. Insomnia parah, juga kerap mengalami gejala keram perut sebelah kiri bawah secara tiba-tiba seperti beberapa saat yang lalu.
Jika datang menyerang, serasa mau mati hari. Belum lagi penyakit mala rindu yang kurasakan kepada Bayu.
Karena tidak tahan lagi dengan penyakitku yang aneh itu, akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi internist di Rumah Sakit terbesar di kotaku, dengan harapan mendapatkan pelayanan dan pemeriksaan terbaik sebagai penebus rasa penasaranku.
Dari beberapa dokter yang aku datangi sendirian, saat itu ada Bayu yang menemani. Mungkin Allah tidak ingin aku pingsan jika mendadak kambuh lagi di perjalanan. Hidup jauh dari sanak saudara, mana ada yang bisa menyengaja mengantarku berobat dan menjagaku setiap hari. Kecuali aku berusaha sendiri. Hanya saja waktu itu ada Bayu, yang bersedia menemaniku berkunjung ke Rumah Sakit.
Bayu duduk di sisiku menyimak penjelasan dokter. Aku sengaja memintanya masuk ketika dokter hendak memberiku penjelasan. Entah apa alasannya, yang jelas, ingin rasanya ada seseorang yang mengerti rasa sakit ku. Karena selama ini semua orang menganggap aku ini super kuat.
Dokternya tampan. Masih muda. Aku tidak mendapatkan pemeriksaan yang sebelumnya aku harapkan. USG pun tidak. Pemeriksaannya sama saja dengan yang dilakukan dokter-dokter di klinik biasa.
“Anda saya rujuk ke psikiater,” ucapnya.
Aku terkekeh, menahan tawa. Mungkin ini dokter sudah gila, pikirku. Aku yang kesakitan di bagian perut, kok tiba-tiba diarahkan menemui psikiater.
Aku yang ragu akan hasil pemeriksaannya, sempat mengulangi pertanyaan yang sama, “apa saya tidak salah dengar, Dok?” Bayu pun melirik ke arahku dengan ekspresi heran.
“Ini yang dinamakan psikosomatis. Salah satu penyakit fisik yang timbul akibat penyakit psikis, “jawabnya.
Lantas dilanjutkan kepada penjelasan-penjelasan ilmiah. Bayu mendengarkan semua penjelasan dokter. Manggut-manggut entah paham atau tidak.
Aku pun heran mendengar penjelasan dokter yang sesungguhnya tidak terlalu mau kuindahkan. Kecuali setelah keluar dari ruang peraktik, aku menyempatkan untuk berselancar di dunia maya, mencari jawaban dan penjelasan soal penyakit yang kuderita.
Dengan perasaan yang cemas, aku melangkah gontai membawa resep obat yang kuterima dan kutebus di kassa.
Bayu menghiburku sebisanya. Berusaha menghadirkan tawa. Ku tahu, semua itu dilakukannya demi agar aku bahagia.
“Tania, dengarkan aku. Mulai sekarang jangan terlalu banyak pikiran ya. Kalau ada apa-apa, kamu ceritakan saja semuanya kepadaku, jangan pernah menyimpan dan memendamnya sendirian. Aku akan mendengarkannya,” ucap Bayu penuh ketulusan.
Lalu, “aku harap kamu ikuti saran dokter juga, jangan banyak begadang, jangan overthinking dan harus banyak istirahat, Happy aja ya…”
Kalimat Bayu yang selalu bisa membiusku berkali-kali, kala itu tidak aku setujui.
Andai kau tahu, Bayu. Penyebab insomniaku adalah kamu. Aku tidur terlambat dan bangun lebih cepat adalah karena aku terus memikirkanmu banyak-banyak.
“Sekarang, karena ternyata bukan asam lambung dan ginjal lagi, kamu boleh kok makan mi instan sesekali, nanti aku temenin.”
Tangannya menggenggam tanganku penuh perhatian. Tatapan matanya yang teduh membuatku merasa memiliki Bayu hari itu.
Aku berbisik, “terima kasih, Bayu.”
DAlam hatiku berkata, jika aku tidak perlu pergi ke psikiater. Hanya perlu mensetting otakku agar tidak berpikir macam-macam, belajar lebih sabar dan tidak overthinking seperti kata Bayu.
Tujuh butir obat tidur yang diresepkan oleh dokter tidak kumakan di hari pertama. Aku lebih berusaha untuk berdamai dengan diriku sendiri. Memperbanyak istigfar dan berdoa sebisanya pun sudah kulakukan. Namun apa daya, pikiranku semakin melayang memikirkan hal-hal buruk apapun yang semakin rajin singgah di kepalaku. Mengganggu pikiran. Tidurku semakin sedikit. Wajahku semakin kuyu, pucat dan terlihat begitu buruk.
Selepas mengantarku berobat, Bayu semakin rajin menelepon dan bertanya soal kabar kepadaku. Aku sangat terhibur dengan itu. Suara Bayu di ujung telepon selalu riang dan menularkan energi positif. Namun sebanding dengan itu, aktivitasnya dengan Yoana semakin sering terlihat nyata di depan mata. Membuat insomniaku kembali kambuh dan tak kunjung sembuh. Sakit keram di perutku kadang muncul sesekali seperti hari ini. Ketika Bayu lama sekali tidak memberiku kabar.
Ya, Yoana memang jauh lebih cantik. Hidungnya mancung, senyumnya lebih manis, dan perangainya jauh lebih ramah. Orang bilang sih, Yoana itu dewasa. Sedangkan aku? Aku hanyalah perempuan kolokan yang cengeng dan tak bisa bersikap dewasa.
Ketika mendengar pujian-pujian itu untuk Yoana, otakku kembali sibuk dan overthinking. Ingatan-ingatan soal keburukan yang dilontarkan kepadaku, kembali menyerang.
“Tania itu otoriter dan terlalu ambisius!” ucap seorang teman saat tidak sengaja tertangkap indra pendengaranku.
Belum lagi ada yang bilang, “seharusnya di usiamu yang sudah segitu, kamu mampu dewasa dan mengendalikan diri. Apalagi di hadapan orang banyak.” Kalimat itu selalu terngiang di telinga. Tak mau enyah.
Kadang sering ingin memberikan jawaban yang sama pedasnya dengan rujak-rujak yang sering kumakan dulu, bahwa hidup yang kujalani memang keras.
Tidak adakah ruang untuk aku merasakan kelembutan? Mengapa ketika aku merasa ingin menang dan berhak menang, semesta seolah menuntutku untuk kalah dan mengalah. Puluhan tahun hidup, rasanya orang-orang memaksa Tania yang lemah ini harus selalu tegar meskipun kakinya telah patah dan tubuhnya memar-memar.
Malam-malam berikutnya aku terpaksa menelan pil tidur itu. Aku bisa tidur nyenyak, tapi susah sekali bangun pagi hari. Namun setidaknya tubuhku tidak terlalu terasa remuk karen tidurku lebih dari cukup.
“Tania…, kok gak dijawab. Kamu tidak apa-apa kan di sana?”
Chat Bayu lupa aku jawab.
“Aku baik-baik saja, Bayu. Kamu sedang apa?” tanyaku.
“Aku lagi menemani Yoana menjenguk tantenya di luar kota. Kamu baik-baik ya di sana, jangan bikin aku khawatir.”
Air mataku berlinang. Sakit keram di perutku bertambah sakit. Aku mengerang kesakitan.
Aku berusaha menggerakkan jariku, mengetik pesan di Android.
“Jangan khawatir. Ada sabar menemaniku.”
Aku akhirnya sadar. Aku bukan sedang menderita gagal ginjal atau juga luka lambung dan sebagainya. Aku hanya perlu terus bersama Bayu.
Bayu yang masih terus bersama Yoana nun jauh di sana.
+ There are no comments
Add yours