“Mual, muntah dan pusing kepala. Ya semua ada,” ujarku saat Rara teman baikku bertanya tentang bagaimana kabarku hari ini.
Rara tertawa lepas, “kok gejalanya sama dengan yang sedang hamil muda saja,” ledeknya.
“Ha ha ha. Betul juga ya,” jawabku dengan tawa yang tak kalah lepasnya.
Kami selalu bertukar cerita tentang apa saja yang sedang terjadi. Rara memang sahabat terbaikku sejak kami duduk di bangku SMP, hingga kini kami sama-sama kuliah di kampus yang sama. Bahkan baru saja kami selesai melakukan praktik magang di salah satu perusahaan besar di ibu kota. Walaupun kami beda jurusan, Tuhan telah mentakdirkan kami dua sahabat karib untuk kembali bersama dalam agenda magang.
“Masa sih segitunya Ren. Saking ngerinya ya kamu sampai mual gitu kalau ingat?” tanyanya lagi.
Sesekali Rara mengunyah keripik pedas dari toples yang kuletakkan di atas meja.
Hari ini hari libur semester. Kami bisa menghabiskan waktu bersama. Rumah Rara yang hanya beda blok memberikan ruang bagi kami untuk saling mengunjungi satu sama lain. Namun Rara lebih sering datang ke rumahku, karena Rara punya tiga adik lelaki yang katanya suka rese.
“Jangan terlalu banyak makan pedesnya, nanti maag mu kambuh,” ucapku mengingatkan.
Sahabatku yang satu ini memang bandel. Tidak juga berubah. Minatnya kepada pedas memang luar biasa, walaupun sudah beberapa kali masuk keluar rumah sakit karena masalah lambung.
“Ha ha. Ada yang coba mengalihkan topik pembicaraan nih. Bos kamu Ren, bukan keripik!” ledeknya lagi.
“Iya sama kok! Keripik juga kalau kebanyakan bisa bikin mual muntah karena pedas dan asam lambung kamu naik tuh!”
Kami tertawa sama-sama. Keripik singkong di toples hampir saja habis.
“Jangan dihabiskan. Nanti aku gak kebagian!” teriakku.
Aku dan Rara seharian membicarakan soal magang yang baru saja selesai sebagai salah satu syarat pengajuan judul skripsi. Meskipun kami magang di perusahaan yang sama, tetap saja kami terpisah divisi. Rara yang memiliki atasan super baik, namanya bu Lisa. Sedangkan bosku laki-laki, masih muda dan galaknya minta ampun.
Setiap hari ada aja yang salah di matanya dan membuatnya sering marah-marah. Namun anehnya hari ini aku malah mendengar kabar dari Rara bahwa dia malah titip salam untukku. Katanya Rara tidak sengaja bertemu bu Lisa, bos ku dan beberapa karyawan PT Nusa Andalan, saat berada di pusat perbelanjaan.
“Alah, salam apaan. Paling dia mau ngajak berantem lagi!”
Aku begitu kesal. Jangankan nerima salam mengingatnya saja sudah kesal setengah mati. Pusing dan bikin mual saja. Apalagi jika mengingat beberapa kejadian aneh yang aku alami saat magang dulu.
Tiga pekan berlalu dari masa magangku. Hari terakhirku harus mengalami insiden pingsan dan dibawa ke rumah sakit, hingga tidak bisa mengikuti seremoni pelepasan dan penutupan masa magang dengan pihak perusahaan dan kampus. Karena tempat magang memang ditunjuk langsung oleh kampus.
Bosku bernama pak Dito. Lelaki muda yang baru saja naik jabatan menjadi manager. Menurut informasi yang didengar, dia adalah sosok yang berwibawa dan cerdas. Beberapa kali mendapatkan penghargaan karyawan terbaik sehingga tidak heran jika dirinya mendapatkan promosi manager lebih cepat.
Namun apa yang terjadi, dia bukan hanya galak, aku pikir dia adalah bos paling kejam. Jauh dari kata berwibawa seperti yang orang-orang katakan.
Dia bisa tiba-tiba marah bahkan tanpa sebab yang jelas. Dan sialnya, kesalahanku menjadi banyak sekali ketika melakukan pekerjaan yang diberikan pak Dito.
Maklum anak magang mana bisa langsung paham sekali.
Hal yang paling menyebalkannya, pak Dito ini tidak mau memaklumi kekeliruan kecil seperti salah ketik, titik koma dan lain sebagainya.
Kata mbak Nunu, kalau salah ketik sih dia gak maslah, karena fokus sama konten laporan, paling nyuruh diperbaiki saja.
“Mungkin karena kamu anak magang aja sih Ren, jadi pak Dito semarah itu ke kamu. Biar kamu mikir dan kerja lebih baik lagi!” ujar mbak Nunu. Aku tahu dia hanya sedang menghiburku.
Sorot matanya yang tajam dan cara bicaranya yang ketus membuat aku tidak bisa tidur setiap pulang kerja. Akhirnya bangun kesiangan dan gak bisa lagi fokus saat bekerja.
“Besok-besok tidurnya jangan kemaleman dong, Ren,” ujar Rara saat kami makan bareng di kantin kantor.
“Aku gak sengaja. Tapi sosok pak Dito itu selalu menghantuiku setiap malam, Ra!” keluhku pada Rara.
Rara malah tertawa, “awas nanti kamu malah jatuh cinta! PAk Dito kan ganteng banget. Baik pula, Ren. Idaman pokoknya!” ledek Rara.
Sejenak sosok pak Dito melintas di kepalaku. Lelaki ini memang ganteng. Sangat ganteng malah. Namun kalau ingat sikapnya, membuatku bergidik ngeri.
“hiiyyy.”
**
Senin pagi aku kembali kesiangan. Padahal kali ini aku bangun lebih pagi. Dini hari malah. Pak Dito sudah duduk di kursi belakang meja kerjaku saat aku tiba di ruangan yang saat itu masih sepi. Empat kursi yang lain malah masih kosong, entah kemana mbak Nunu dan yang lainnya.
“Jam berapa ini hah?” tanya pak Dito dengan suara yang sangat keras. Menyisakan dengung di telingaku.
“Maaf, Pak. Senin jalanan macet!” jawabku jujur.
“Ini Jakarta, Renata! Sudah tahu macet, malah berangkat kesiangan! Coba dong menyesuaikan. Jangan kamu dikuasai keadaan. Tapi keadaan lah yang harus kamu kendalikan. Paham?” teriak pak Dito di dekat kupingku.
Rasanya aku ingin menangis dan langsung mengundurkan diri saja. Ganti tempat magang misal. Namun waktu magang hanya tinggal setengahnya. Toleransi dari kampus pun sudah tidak ada lagi. Kalau minta ganti tempat pasti prosedurnya panjang.
“Hai, kamu dengerin saya tidak?” teriaknya lagi.
“Bisa gak sih pak gak usah teriak-teriak? Kuping saya sakit nih!” keluhku.
Entah kenapa tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja. Seketika aku sadar dan spontan menutup mulutku.
“Oh, sudah bisa protes rupanya! Baik….,” ujar pak Dito.
Ia berjalan memutari tubuhku. Lalu, “besok-besok, kalau kalau masih kesiangan, ada kerjaan tambahan yang siap menantimu, Adik manis!” bisiknya di dekat telingaku.
Hangat napasnya berembus di telingaku membuat bulu romaku berdiri. Harum parfumnya begitu wangi. Degup jantungku berpacu.
“Ah, kenapa aku degdegan!” pekikku dalam hati mengutuk diri sendiri.
Pak Dito berlalu, meninggalkanku begitu saja yang masih berdiri mematung di depan meja kerja. Lalu bergegas membereskan arsip dan menyalakan komputer bersiap kerja.
Sekitar sepuluh menit kemudian, beberapa karyawan yang satu ruangan denganku berdatangan termasuk mbak Nunu karyawan lama yang paling akrab denganku. Dia ramah dan selalu baik kepada orang baru.
“Kamu baru datang?” tanya Mbak Nunu sembari sibuk meletakkan beberapa bundelan arsip di meja kerjanya. Bajunya yang jauh lebih rapi hari ini membuatnya lebih cantik dari biasanya.
“Aku sudah di sini sejak sepuluh menit yang lalu, Mbak! Kanapa?” tanyaku heran.
Bukankah mereka yang malah pada kesiangan?
“Ren… Kamu lupa kalau pagi ini kita ada meeting? Kami baru saja keluar dari ruang rapat. Kenapa kamu gak langsung nyusul ke ruangan tadi?”
Deg!
“Ha?” aku kaget setengah mati. “Tapi pak Dito, atasan kita gak ikut rapat dong?” tanyaku.
“Gak ikut gimana? Dia datang paling pagi. Noh, dia masih ada di ruang meeting sama pak bos besar.” jawab mbak Nunu yang lantas duduk di mejanya tepat hadap-hadapan dengan mejaku.
“Mbak, pak Dito ini barusan keluar dari ruangan ini. Habis marah-marahin aku karena aku kesiangan datang!”
“Ngawur kamu Ren. Noh, pak Dito masih di ruangan,” jawab mbak Nunu kembali menegaskan.
Seketika kepalaku mendadak sakit, pening dan perutku terasa mual. Aku berlari menuju toilet kantor.
**
“Dug! dug! dug!” pintu toilet digedor dari luar.
“Siapa…? sebentar!” ujarku kesal sambil merapikan bajuku.
Pak Dito berdiri tepat di depan pintu toilet.
“Pak Dito? ini kan toilet perempuan!” ucapku. Saat itu aku sudah tidak lagi memedulikan sopan santun. Kesal bercampur pusing beradu di kepalaku.
“Saya tahu, cepat ikut ke ruanganku!” pintanya seraya menarik pergelangan tanganku.
“Sebentar dong, Pak! Tidak perlu menarik tanganku juga kali!” aku berteriak keras sembari melepaskan tanganku dari cengkraman pria itu dengan hentakan kasar. Aku tidak peduli pak bos yang kini ada di hadapanku marah lagi. Terserah!
Pak Dito melepaskan genggaman tangannya lalu ia memberi kode dengan lirikan matanya yang menyebalkan agar aku mengikuti langkahnya.
**
Sebuah ruangan besar dan mewah baru kami masuki. Aroma parfum ruangan tercium sangat nyaman dan membuat siapa saja yang datang ke sana akan merasa nyaman. Karpet empuk berwarna merah kecokelatan bermotif batik menjadi alas ruangannya. Sofa dan warna cat dinding yang senada membuat kesan elegan. Sungguh penata interior ruangan ini sangat pandai.
Tapi kenapa sangat berbeda dengan ruangan-ruangan lain yang ada di kantor ini? Apa karena memang ini khusus ruangan bos? gumamku pada diri sendiri.
“Duduk!” Dito mempersilakan duduk.
“Di sofa?” tanyaku gugup.
“Iya, di mana lagi? gadis bodoh!” pekik Dito membuat kesabaranku habis.
Aku beringsut duduk sambil menahan emosi. Berharap momen ini segera berakhir. Ruangan yang semula terasa nyaman berubah menjadi sebuah neraka bagiku.
“Kamu sudah melakukan banyak sekali kesalahan. Perbaiki atau aku akan menghukum mu!” ucap Dito dengan suara yang penuh penekanan.
“Iya, Pak. Saya akan berusaha,” jawabku.
Selanjutnya Dito mengomel sana sini membahas satu persatu kesalahan yang pernah ku buat dan ancaman-ancaman jika aku tidak memperbaikinya.
Kepalaku berputar. Mengkonfirmasi satu persatu kesalahan yang diperbuat. Sungguh menurutku tidak ada yang fatal. Dito benar-benar sudah seperti seorang dosen pembimbing yang killer saja. Titik dan koma pun menjadi kesalahan fatal yang membuatnya marah besar.
Padahal mbak Nunu pun bilang kalau pak Dito tidak sekejam itu. Dia hanya memiliki karakter tegas dan sangat disiplin sama deadline pekerjaan. Selama ini aku pun selalu menuntaskan pekerjaanku tepat waktu, walau satu dua kali harus kesiangan datang ke kantor.
Ponselku tiba-tiba berdering saat atasanku bicara panjang lebar tentang kedisiplinan kerja dan merinci setiap inci kesalahanku. Aku yang memilih untuk tidak mendengarkannya dengan serius memberanikan diri untuk membuka pesan tanpa meminta izin kepada yang sedang ngomel di hadapanku.
“Ren, kamu di mana? Pak Dito mencari mu.”
Isi pesan mbak Nunu mengagetkanku. Aku berusaha mengangkat dagu dengan perlahan. Mencoba memberanikan diri untuk memandang siapa sebenarnya yang sedang berbicara di hadapanku.
Kosong
Di hadapanku tidak ada siapa-siapa. Sofa berwarna krem di hadapanku tidak sedang diduduki oleh siapapun. Wangi ruangan masih masih tercium dengan aroma yang sama. Hanya saja suasana ruang yang tadi hangat mendadak dingin, jauh lebih dingin daripada ketika pak Dito memarahiku barusan.
Aku bergegas keluar dari ruangan itu lalu menutup pintunya rapat-rapat.
“Klek!” Tiba-tiba pintu itu terkunci dari dalam.
Aku yang sadar sudah berada di sebuah lorong, mendadak merasa lemas. Kedua kakiku tidak dapat menopang tubuhku. Kepalaku terasa begitu pusing dan mual lalu seluruh ruangan gelap, dan aku tidak bisa melihat apa-apa lagi.
**
“Renata… Hai! Bangun Ren….!” suara lembut seseorang memanggilku. Tangannya menggenggam hangat tanganku. Perlahan aku meliriknya, Pak Dito tersenyum lembut di sebelahku.
“Kamu sudah sadar, Ren!” terdengar suara Rara sahabatku yang berdiri di hadapanku. Di ujung ranjang pasien sebuah rumah sakit.
“Aku di mana?” tanyaku.
“Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan di lorong. Pak Dito yang membawamu ke sini,” jawab mbak Nunu.
Aku segera melepaskan genggaman tangan pak Dito yang terasa hangat. Aku tidak bisa lagi berpikir jernih. Apakah ada Dito yang lain di tempat magangku?
Kepalaku mendadak pusing tujuh keliling. Ruangan gelap kembali dan aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
+ There are no comments
Add yours